A. Konsep Manajemen MI
Secara konseptual –filosofis pendidikan digali dari identitas, karakteristik dan khazanah budaya yang dimilikinya sehingga pendidikan yang diterapkan tidak keluar dari akar sejarahnya.
1. Pengertian dan Sejarah Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Madrasah merupakan isim makan dari katab darasa yang berarti tempat duduk untuk belajar. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.[1]
Lembaga pendidikan madrasah telah di kenal di timur tengah hanya saja pendidikan pada saat itu sebagai pendidikan keilmuan tingkat tinggi, Pada abad 11-12 M Wazir Bani Saljuk, Nizam al-Mulk mendirikan madrasah Nizamiyah di Bagdad sebuah pendidikan yang bertujuan memperkaya khazanah lembaga pendidikan di masyarakat Islam,[2] akan tetapi penelitian terakhir madrasah pertama kali didirikan berada di Nishapur, Iran.[3] Menurut George Makdisi mengungkapkan di kutip oleh Ainurrafiq bahwa akar sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam berawal dari masjid pada abad ke 8-9, awal perkembangan madrasah karena pemerintahan memiliki andil yang cukup besar seperti Nidzam al-Mulk 1063 M, Nur al-Din Zanky 1146-1174 M dsb. Dan perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya[4], disini jelas terlihat antara fihak pemerintah dan swasta bekerja sama dalam melakukan perkembangan madrasah sehingga madrasah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang maju dan berkembang adalah sesuatu yang sangat utopis, inilah awal mulanya sejarah perkembangan madrasah di dunia Islam. Berbeda halnya jika di dalam negeri (Indonesia) madrasah adalah pendidikan yang memberikan pengajaran Islam pada tingkat rendah dan menengah.
2. Latar Belakang Munculnya Madrasah Indonesia
Pada masa penjajahan Jepang sikap Pemerintahan Jepang terhadap Islam berbeda dengan sikap Belanda, Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, mereka lebih mementingkan keperluan kepentingan perang, sehingga mereka lebih memilih pro dengan umat Islam, yang menjadi mayoritas di Indonesia untuk mendapatkan dukungan. Lain halnya dengan Belanda yang membatasi ruang gerak Islam baik pendidikan maupun organisasi-organisasi Islam. Hal ini dilakukan Belanda karena selain bertindak sebagai kaum penjajah, mereka juga memiliki misi yang tak kalah penting yaitu menyebarkan agama kristen.
Dengan dikeluarkannya kebijakan Jepang tentang upacara Sei Keirei bagi sekolah-sekolah menuai banyak protes diantaranya adalah dua orang tokoh Islam yang memiliki andil cukup besar terhadap perkembangan Islam. Adalah Dr. Hamka, reformis Minangkabau yang baru dibebaskan dari pembuangan di Jawa barat pada masa kolonial Belanda. Beliau tanpa takut-takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran shinto yang mengharuskan menyembah kaisar dan matahari terbit dengan Islam yang monotheisme. Tokoh lainnya adalah Abdul Kahar Muzakar, seorang pemimpin pemuda Muhammadiyah, yang langsung menyatakan ketidak setujuannya di depan Prof. Ozaki. Berkat dua orang tokoh ini akhirnya menghasilkan peraturan baru yang membebaskan umat Islam dari pelaksanaan upacara Sei Kierei.[5]
Pendidikan Islam berkembang secara pesat pada masa penjajahan Jepang terjadi di Minangkabau. Pada tahun pertama masuknya tentara Jepang, ulama-ulama Minangkabau bersatu padu menghadapi politik yang akan dijalankan oleh Jepang dengan mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau, yang berpusat di Bukit Tinggi, dan ditunjuk Mahmud Yunus sebagai penasihat dikantor residen Padang. Berkat usahanya, kepala Jawatan menyetujui untuk memasukan pendidikan agama Islam ke sekolah-sekolah pemerintah pada waktu itu. Mahmud Yunus juga diperbolehkan untuk melaksanakan pengajaran di Majelis Islam Tinggi sehingga diadakan pelatihan-pelatihan guru agama dibawah pimpinan Mahmud Yunus. Kemudian pada bulan Maret 1945, Mahmud Yunus diangkat oleh pemerintah Jepang sebagai pemeriksa Agama di Sumatera Barat. Sejak saat itu bertambah banyaklah pelajaran agama yang masuk ke sekolah-sekolah pemerintah. Madrasah Awaliyah pun berkembang pesat pada masa ini. Di Minangkabau madrasah awaliyah diadakan di sore hari dengan lama belajar satu setengah jam perhari. Materi pelajaran yang diberikan berupa : membaca al Quran, ibadah, akhlak dan keimanan.
Di Kalimantan didirikan pula perkumpulan madrasah-madrasah Islam Amuntasi yang disingkat menjadi IMI, Ikatan Madrasah Islam Amuntasi ini didirikan pada tanggal 15 Maret 1945. Adapun tujuan dari perkumpulan tersebut adalah : Menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas berdirinya perguruan-perguruan Islam, dan memperbaiki organisasi dan pengelola perguruan-perguruan Islam yang telah ada, agar sesuai dengan keinginan masyarakat luas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu langkah yang diambil adalah dengan mendirikan perguruan-perguruan Islam.[6]
Bertitik tolak dari hal tersebut maka latar belakang perumbuhan madrasah di Indonesia didorong oleh: a) sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam, b) usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren kearah kesuatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan kelulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, yaitu ijazah dengan peluang pekerjaan, c) dan sebagai upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pasantren dengan sistem modern dari hasil akulturasi sekolah yang di pelopori oleh Belanda,[7] d) menguaknya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. [8]Hingga munculnya kelompok organisasi yang bertujuan pengembalian kepada al-Qur’an dan hadis semagat nasionalisme dalam melawan penjajahan belanda yang dimulai pada abad 20.
Mukti Ali mensinyalir bahwa pada masa penjajahan Belanda ini, pendidikan terpecah menjadi dua golongan yaitu pendidikan yang sekuler dan pendidikan Agama. Oleh karena itu madrasah merupakan pleace bertemunya proses pembelajaran antara pesantren dengan sekolah bertujuan untuk memadukan keunggulan keduanya yaitu pada pesantern ungul dibidang keilmuan keIslaman dan sekolah unggul di bidang ilmu-ilmu modern atau umum[9] Karel A. Steenbrik menguraikan bahwa madrasah yang berdiri di Indonesia adalah Adabiah School, Madrasah Diniah Zainuddin Labai, Madrasah Nahdlatul Ulama dll.[10]
3. Perkembangan dan Manajemen Madrasah
Perubahan ke madrasah dari pendidikan pesantren dan sekolah yaitu sekolah umum yang bercirikan Islam dengan cakupan tanggung jawab: a) sebagai lembaga pencerdasan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya, khususnya masyarakat Islami, b) sebagai lembaga pelestarian budaya keIslaman bagi masyarakat Indonesia dan sebagai lembaga pelopor bagi peningkatan kualitas masyarakat Indonesia dan muslim khususnya.[11]
Madrasah yang dikelola oleh Kementerian Agama, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia mengupayakan untuk menjembantani kensenjangan antara model pendidikan sekolah dengan pesantren, jika melihat sejarah madrasah yang sangat di dukung oleh pemerintah dan bangsawan berbeda halnya dengan Indonesia yang kurang memperhatikannya namun terdapat sedikit celah perhatian pemerintah pada tahun 1975 munculnya Surat keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang terdiri dari menteri agama, pendidikan dan kebudayaan serta dalam negeri yang memuat materi pelajaran pada madrasah 70% umum dan 30 % agama, Stenbrink beranggapan bahwa membuat kerugian terhadap madrasah. Namun jika meneropong dari sudut dikotomi sangat positif dengan adanya SKB 3 menteri ini antara ilmu agama dengan ilmu umum.[12]
Ciri-ciri komponen muatan belajar yang merupakan kelebihan disubtitusi oleh lembaga pendidikan ialah muatan pendidikan agama dan pendidikan prilaku sosial yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang Islami. Ini berarti kekuatan yang harus dipupuk dan diperbesar. Ditengah arus kecendrungan hidup masyarakat yang materialistis, hedonistik, liberalistik dan individualistik, agama memiliki penyelesaian yang mendasar terhadap ketidak tentraman dan ketidak puasan batin akan hidup dan kehidupan manusia. Semakin sempitnya peran keluarga, menjadikan pendidikan untuk keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan yang notabenenya merupakan tugas lembaga keluarga sebagai lembaga pendidikan berdasarkan ketentuan UUSPN pasal 10 ayat 4. Menjadikan ”kelebihan madrasah semakin memiliki daya tarik bagi keluarga-keluarga yang kurang sempat memberikan keyakianan agama dan pendidikan nilai kepada putra putrinya. Terdapat beberapa ciri-ciri khas madrasah yakni ; 1. Suasana kehidupan madrasah yang agamis, 2. Adanya sarana ibadah, 3. Penggunaan metode dan pendekatan yang agamis, dan 4. Kualifikasi guru harus beragama Islam dan berakhlak mulia
Madrasah Ibtidaiyah sebagai bagian dari penyelenggara pendidikan nasional saat ini dituntut untuk mampu melakukan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan yang dirumuskan oleh pemerintah. Standarisasi yang dimaksud menurut PP nomor 19 tahun 2005 meliputi standar pendidik tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar kompetensi lulusan dan standar penilaian. Pengelolaan pendidikan mengalami perubahan paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi wujud nyata dari perubahan itu ialah lahirnya dua UU yaitu UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah pada hakikatnya memberikan kewenangan dan keleluasaan pada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan UU. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentraalisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.[13]
Dalam rangka otonomi daerah sekaligus desentralisasi pendidikan maka pendidikan madrasah berussaha untuk mengintegrasikan diri dalam kebijakan ini. Meskipun sampai saat ini belum ada kebijakan yang mengikat mengenai posisi madrasah dalam kerangka otonomi daerah namun dnegan surat menteri agama yang dikirmkan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah, No. MA/402/2000 mengenai kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama pada sekolah umum dan penyelenggaraan madrasah yang diserahkan kepada daerah kabupaten/kota sesuai azaz desentralisasi daerah, maka posisi madrasah semakin jelas pemecahannya walaupun diakui bahwa permasalahan tersebut belum sepenuhnya dapat diselesaikan.[14]
Pengelolaan pendidikan pada madrasah mempunyai tiga pendekatan yaitu; Pertama secara simbolik kita akan dapat membedakan di madrasah para siswi memakai jilbab dan siswa memakai celana panajang begitu juga dengan gurunya. Kedua secaara subtansial ialah pendidikan madrasah merupakan sekolah umum yang berciri khas Islam dengan mata pelajaran al-Qur’an hadits, Fiqih, Akidah Akhlak, Sejrah kebudayaan Islam, dan bahasa arab dan suasana keagamaan Islam yang berupa suasana madrasah yang agamis adanya sarana ibadah, metode pendekatan yang agamis dalam penyajian materi pembelajaran dan berakhlak mualia, dalam rangka mengarahkan, membimbing, membina dan melahirkan pendidikan madrasah yang qualified mampu mengembangkan kognitif, akfektif dan psikomotor,[15] disamping memenuhi pengajar berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ketiga Secara Institusional Madrasah yang khususnya Negeri berada dibawah naungan Kementerian Agama. Madrasah merupakan satuan pendidikan seperti didalam pasal 51 UU nomor 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, dasar dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen sekolah/madrasah.
Desentralisasi pendidikan tidak hanya pelimpahan dari pusat ke daerah tetapi juga kepada sekolah/madrasah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah/ madrasah (MBS/M). Manajemen berbasis madrasah adalah proses pengintegrasian, pengkoordinasian dan pemanfaatan secara menyeluruh dengan melibatkan elemen-elemen yang ada pada madrasah untuk mencapai tujuan pendidikan secara efesien atau manajemen yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada madrasah dalam mengambil keputusan yang partisipatif yaitu melibatkan semua warga madrasah dengan kesepakatan bersama. Dalam kaitannya kebijakan pendidikan memberikan kepastian hukum dalam melakukan sosialisasi, implementasi, dan diseminasi MBS/M, selain sebagai landasan yuridis, kebijakan-kebijakan ini secara langsung memberikan peluang, menentukan arah, cakupan, fokus dan tingkat manajemen, serta membuka ruang kreativitas dalam mengembangkan berbagai metode dan pendekatan baru. Pengalaman lapangan implementasi MBS, dapat memberikan umpan balik ke para pembuat kebijakan di tingkat yang lebih tinggi. Kebijakan pendidikan yang umumnya langsung berkaitan dengan MBS/M adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
4. Peraturan Pemerintah No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
5. Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
6. Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar;
7. Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan;
8. Permendiknas No. 12/2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah;
9. Permendiknas No. 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah;
10. Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi;
11. Permendiknas No. 16/2007 tentang Standar Pendidik;
12. Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
13. Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan;
14. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
15. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009; Kepmendiknas No.044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.[16]
Terkait dengan peraturan pemerintah yang cendrung di gagas oleh Kementerian Pendidikan Nasional maka mau tidak mau kementerian agama harus mengikuti atau menerapkannya mengingat Madrasah juga merupakan sekolah yang berbasis Islam yang diakui kedudukannya setara dengan sekolah dasar. Sehingga dalam beberapa decade akhir ini sekolah menggagas Manajemen Berbasis Sekolah dan madrasah juga pada gilirannya harus menerapkannnya yang di ubah nama dengan Manajemen Berbasis Madrasah.
Secara umum manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan MBS/M ialah sebagai berikut;
1. Sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya, karena bisa lebih mengetahui peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi.
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input dan out put pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah karena sekolah lebih mengetahui apa yang terbaik bagi sekolahnya.
4. Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi .
5. Keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
6. Sekolah bertanggung jawab tentang mutu pendidikan disekolahnya kepada pemerintah, orang tua, peserta didik dan masyarakat
7. Sekolah dapat bersaing dengan sehat untuk meningkatkan mutu pendidikan
8. Sekolah dapat merespon aspirasi masyarakat yang berubah dengan pendekatan yang cepat dan tepat.[17]
B. Ditinjau dari Perspektif Manajemen Secara Umum Mutu Kelulusan MI Kalah dibandingkan Mutu Pendidikan SD
Menurut Kartini Kartono mutu pendidikan menyangkut masalah kualitas, derajat ukuran baik dan buruk dan tinggi rendahnya kondisi pendidikan sehingga bisa efisien selaku alat pemecahan kesulitan-kesulitan hidup setiap hari.[18] Terkait berbicara mutu dapat tidaknya hasil pendidikan yang dipakai secara tepat guna sesuai dengan keperluan hidup. Madrasah dapat dikatakan bermutu jika ditunjukkan prestasi madrasah, khususnya pencapaian siswa dengan pencapaian yang tinggi dalam prestasi akademik, memiliki nilai-nilai kejujuran, ketakwaan, kesopanan dan mampu mengapresiasikan nilai budaya serta memiliki tanggung jawab yang tinggi dan kemampuan yang diwujudkan dalam keterampilan sesuai dasar ilmu yang diterima disekolah/ madrasahnya.[19]
Semua itu tidak akan terwujud jika tidak diwujutkan dengan cara mengoptimalkan kebijakan pada tingkat manajemen madrasah dengan melaksanakan programnya yang memperhatikan indicator-indikator yang mempengaruhi mutu pendidikan. Adapun indicator tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republic Indonesia No. 19 tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional yakni pasal 2 ayat 1 yang berbunyi : “Lingkup standar nasional pendidikan meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Oleh karena itu untuk menghasilkan variable –variable lingkup standar pendidikan nasional yang bermutu maka sangat di perlukan manajemen yang bermutu pula.
Mengenai lulusan madrasah yang belum bisa dibanggakan baik intelegtual maupun spiritualnya dari segi intelektual banyak lulusan madrasah yang prestasinya dibawah sekolah umum yang berdasarkan standar nilai ujian nasional. Dalam segi spiritualitas masih banyak lulusan madrasah yang dalam disetiap prilakunya belum mencerminkan nilai –nilai islami, bahkan tidak jarang yang terlibat dalam perkelahian dan prilaku negatif lainnya. Pada madrasah keseluruhan input ini tidak siap, perencanaan dan evaluasi yang tidak sistematis, yang paling extreme kurikulum yakni kurikulum madrasahn yang belum focus hal ini terlihat misalnya dengan banyaknya materi yang diajarkan sementara waktu tidak memadai bahkan overload. Kurikulum madrasah masih adanya duplikasi materi yang diajarkan berulang-ulang pada mata pelajaran yang berbeda. Impilikasi kurikulum juga yang belum focus beban belajar siswa lebih banyak di bandingkan SD sehingga tumpang tindih dan menguras pemikiran siswa kepada beberapa cabang pelajaran yang menyebakan tidak focus, evaluasi atau UASBN dilaksanakan penilaian lebih dominan pada materi umum seperti IPA, Matematika dan Bahasa Indonesia sedangkan pelajaran Agama tidak di ujiankan apalagi pelajaran agama mencakup alqur’an hadits, akidah akhlak, SKI, fiqih dan Bahasa Arab sangat banyak pelajaran agama yang di pelajrai membuat siswa MI harus menguras otak sehingga cendrung menguasai pelajaran agama dari pelajaran umum yang berindikasi pada kelulusan siswa di lihat dari nilai pelajaran umum maka nilai siswa dari MI lebih rendah di bandingkan dengan siswa SD karena kurikulum SD hanya mempelari pelajaran agama selama 2 jam saja dalam seminggu yang kelima unsure pelajaran agama itu terangkum dalam pelajaran Agama Islam.
Program pengembangan yang parsial dan tidak berangkat dari suatu desain yang terencana. Juga diidentifikasi sebagai penyebab tidak bertemunya visi –misi madrasah dengan proses pembelajaran yang di berikan. Dan tidak adanya cetak biru dalam pengembangan madrasah. Pada tahap outcome Sekolah menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah dalam menyaring inputnya mencari yang nilainya tinggi sesuai dengan kelulusan siswa di MI disini jelas siswa MI tidak mendapat kesempatan karena nilai yang tertera di secarik kertas Ijazah dominan nilai mata pelajaran umum.
Pada prosesnya siswa MI dididik oleh pendidik yang tidak professional Rendahnya mutu pendidik yang cenderung lemah dalam pembelajaran umum, modern dan teknologi. Jarangnya dilakukan pelatihan, seminar atau bimbingan untuk meningktakan mutu guru baik dari pemerintah pusat (Kementerian Agama) hingga kepada Kepala sekolah Madrasah itu sendiri berbeda halnya dengan SD yang dididik oleh pendidik yang professional sehingga pada prosesnya yaitu proses belajar mengajar berlangsung siswa SD denderung lebih bermutu daripada MI. tidak hanya itu siswa yang ada di MI berlatar belakang dari keluarga kurang mampu dan IQ yang lemah. Melihat pada sudut sarana dan prasarana MI sangat minim dan beda halnya dengan SD yang sudah sangat modern dan sebagian terpenuhi standar nasional. Yang paling ironinya keuangan pada Madrasah Ibtidaiyah juga politisasi oleh pejabat yang berwenang sehingga menghasilkan kebijakan sentralisasi pada MI yang seyogyanya sudah disentralisasi sehingga dana yang disalurkan sangat sedikit jika di bandingkan dengan SD di tambah dengan tidak adanya penyuntikan dana dari otonomi daerah.
Apabila input dan proses tidak sesuai yang di harapkan maka outputnya juga tidak akan dapat menghasilkan sebagaimana diinginkan yaitu lulusan MI sangat sedikit berpeluang menduduki sekolah favorit karena mutu yang lemah terhadap lulusan MI tidak berhasil sebagaimana konsep yang bertujuan meluluskan siswa yang ahli di bidang pengetahuan umum dan modern plus mempuyai moral dan dedikasi tinggi dengan keIslaman.
C. Menurut anda apa-apa saja problem-problem manajemen MI dan bagaimana solusinya?
Jenjang pendidikan dasar MI bertujuan pada pencapaian kemampuan dasar ialah dengan landasan yang benar yakni;
1. Peserta didik memiliki gairah untuk beribadah, maupun berpikir dan berdo’a, mampu membaca al-Qur’an dan membacanya serta menulisnya dengan benar hingga berusaha memahami kandungan maknanya terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (IPTEK)
2. Memiliki kepribadian muslim (berakhlak mulia )
3. Memahami, menghayati tarikh islam
4. Mampu menerapkan prinsip-prinsip muamalah dan syari’ah islam dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945[20]
Untuk mewujutkan tujuan tersebut ternyata masih banyak problem yang dihadapi,sebagaimana system kehidupan lain, problem pendidikan madrasah merupakan problem yang beragam dan saling keterkaitan, selain itu, keterkaitan system pendidikan madrasah dengan system social lainnya juga mempunyai problemnya tersendiri. Problem madrasah secara umum dapat ditinjau dari dua sisi yaitu dari sisi internal dan sisi eksternal.
Problem system pendidikan yang bersifat external seperti persoalan politik, ekonomi, social, budaya, sifat daerah yang berlebihan, tidak adanya kepastian hukum dan kurang terjaminnya rasa aman bagi setiap warga Negara, berpengaruh pada proses pendidikan madrasah. Adapun problem system pendidikan yang bersifat internal ialah guru mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikna yang dibutuhkan, begitu juga dengan kepala sekolah masih banyak yang belum menjalankan tugas dan fungsinya secara baik bahkan ada yang layaknya seperti kepala kantor yang hanya pandai menyusun jadwal dan membagi proyek ketimbang menciptakan kondisi ummatan ilman, ummatan wakhidan dan biah islamiyah. Karyawannya juga masih belum menjalankan tugas dan fungsinya secara baik karena tidak didukung profesionalisme yang tinggi. Dalam proses belajar mengajar strategi atau metode belajar yang dikembangkan lebig banyak “model warisan “ tradisional ketimbang problem solving, sehingga siswa lebih banyak meniru ketimbang menghasilkan ide baru. Nah strategi demikian lama kelamaan tidak tahan uji, karena tidak mampu menyesuaikan dnegan tuntutan zaman. Madrasah dikelola dengan asal-asalan yang menimbulkan problem system manajemenen, dan etos kerja yang rendah. Disamping itu ketertinggalan madrasah dilator belakangi dengan masih berorientasinya kemasa silam yang berciri konservatisme, mutu pennyelenggaraan yang masih rendah, sehingga profesionalisme pengelolaanya tidak jelas dan relevansi pendidikan islam yang kurang mampu merespon tuntutan dan perkembangan masyarakat ynag menuntut pelayanan prima. [21]
Maka menurut penulis problem-problem manajemen MI sangat kompleks adapun problem-problem Manajemen MI ialah Manajemen MI kurang proposional, manajemen tidak akan berjalan jika tidak ada yang mengelolanya yaitu diperlukan seorang pemimpin atau kepala madrasah yang professional yang dapat menjalankan pleaning, Organizing, Actuating dan Controlling namun di MI pada pelaksanaanya belum dijalankan dengan sepenuhnya yang berdampak pada kualitas lulusan MI itu sendiri yakni:
1. Perencanaan yang dilakukan oleh manajemen Madrasah Ibtidaiyah bersifat sementara dan tidak jangka panjang dan tidak mambaca kebutuhan pasar pendidikan sehingga dalam menetapkan visi dan misi sekolah tidak berbasis mutu baik tujuan, target maupun strategi yang ingin dicapai atau digunakan.
2. Pengorgansasian pada manajemen madrasah tidak kompak baik di sekolah, daerah maupun tingkat pusat karena pemimpin yang tidak professional otomatis tidak akan mampu melakukan pengorganisasian secara baik karena keterbatasan kemampuan pemimpin yang tidak akan tercapai pada tujuan atau target yang ingin di capai. Pengorganisasian kepada kekompakan seluruh masyarakat madrasah
3. Penggerak roda lembaga Madrasah Ibtidaiyah ialah kepala madrasah tidak mampu menggunakan sumber daya organisasi sehingga tidak terciptanya iklim organisasi yang kondusif.
4. Kepala madrasah sangat sedikit melakukan pengawasan secara komperhensif atas semua yang telah dijalankan. Tidak adanya aspek pengawasan melalui pengukuran, pengamatan.
Adapun problem sumber daya organisasi manajemen madrasah ibtidaiyah meliputi;
1. Walaupun sudah ada pengembangan system manajemen berbasis madrasah namun sebagian besar madrasah belum siap menjalankan system tersebut karena kemampuan kepimpimpinan dalam memanaj seluruh unsure manajemen yang ada pada madrasah ibtidaiyah cenderung memposisikan diri sebagai manajer bukan sebagai leader atau bahkan creaker. Disamping itu pengelolaan madrasah masih menganut system sentralisasi yang menyebabkan birokrasi yang panjang dan rumit.
2. Pemimpin merupakan posisi yang paling urgen didalam pengelolaan pendidikan kepala madrsah kebanyakan memposisikan sirinya sebagai manajer bukan sebagai leader apalagi sebagai kreacker.
3. Madrasah ibtidaiyah seluruh keuangan terpusat pada kementerian agama sehingga pihak madrasah tidak bisa memfungsikan dana yang telah ada sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan madrasah. Sehingga dapat di ungkapkan bahwa kementerian agama menjadi sub system dari system pendidikan nasional.
4. Fasilitas yang ada pada Madrasah Ibtidaiyah sangat Minim karena Minimnya dana yang diperoleh dari pemerintah dan lembaga non pemerintah.
5. Citra MI dimata masyarakat tidak sebaik sekolah dasar ini disebabkan siswa yang menimba ilmu di MI ialah siswa yang tidak mempuyai financial, siswa yang digolongkan IQ rendah sehingga input siswa tidak berkualitas yang berdampak pada minimnya peminat masyarakat terhadap MI. sehingga kualitas siswa yang ada pada madrasah ibtidaiyah sangat rendah.
6. Madrasah tidak dapat menjamin masa depan lulusannya karena kalah bersaing dengan lulusan dari sekolah umum karena lamahnya pengetahuan umum yang dimiliki lulusan madrasah. Pasalnya lulusan madrasah tidak mampu menguasai pelajaran umum secara mendalam dan pelajaran keagamaan secara mendalam sehingga keilmuan yang didapat oleh siswa madrasah setengah –tengah ini sangat bertolak belakang dengan konsep yang di tawarkan bahwa lulusan madrasah dapat menguasai pendidikan umum secara mendalam dan pendidikan agama Islam secara mendalam.
7. System manajemen yang diterapkan tidak berbasis mutu
8. MI sebuah sekolah yang beriklim kurang kondusif ini disebabkkan tidak memiliki keterbukan manajemen baik ditingkat pusat daerah maupun di lingkungan madrasah itu sendiri yang berpeluang untuk melakkukan korupsi sehingga jika di cermati kementerian agama menduduki posisi “puncak “ tingkat korupsinya di Indonesia.
9. Walaupun sudah diberlakukan desentralisasi pendidikan di tahap satuan pendidikan yaitu berpusat pada madrasah ternyata masih banyak madrasah yang belum siap dengan adanya manajaemen berbasis madrasah ini juga dengan berbagai problem yaitu; masih mengadopsinya praktek manajemen tradisional, yakni manajemen paternalistic dan feodalistik. Dominasi senioritas seperti ini terkadang menganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreatifitas inovatif dari kalangan muda terkadang difahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarqah pada ujung ekstrim negative hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.
10. Evaluasi yang dilaksanakan di MI cenderung tidak ada tindak lanjut yang baik karena tidak adanya strategi evaluasi yang sistematis, memeriksa mutu hanya dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan agen-agen eksternal saja kemudian perbaikan yang dilakukan tidak berkelanjutan dan tidak berbasis data real di lapangan serta tidak komitmennya untuk melakukan perubahan yang lebih baik dan focus pada pendekteksian permasalahan bukan pada penyebab permasalahan yang timbul.
Secara praksis dan aplikatif pendidikan dikelola dengan manajemen yang baik agar konsep dan filosofisnya dapat dibumikan secara efektif, efesien dan prosuktif tanpa system pengelolaan yang baik konsep-konsep tersebut tidak mempunyai banyak arti oleh karena itu manajemen mempunyai peran yang sangat signifikan dalam pelaksanaan pendidikan agar konsep dan tujuan pendidikan dapat tercapai sebagaimana diinginkan. Berdasarkan problematika manajemen MI diatas maka penulis menawarkan solusi sebagai berikut.
1. Perlu adanya revitalisasi kembali sejarah maksud dan tujuan didirikannya madrasah ibtidaiyah.
2. Perlu adanya perhatian pemerintah terhadap kelangsungan madrasah yang tidak bermutu dengan cara pendekatan secara kebijakan dan structural yang tidak lagi menganut sentralisasi atau dengan pengsatu atapan dibawah naungan Kemneterian Pendidikan Nasional antara Madrasah Ibtidaiyah dengan Sekolah Dasar guna menghindari dikotomi pendidikan. Sehingga madrasah leluasa dalam mengelola lembaganya tanpa adanya doktrin dari pusat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Untuk menghadapi tuntutan global kepala madrasah harus sering di berikan pelatihan dan pembinaan serta pengawasan agar madrasah yang dikelola dapat terwujud sesuai dengan yang di harapkan. Disamping itu perlunya penyeleksian ketat terhadap pemilihan kepala madrasah yang baru dan yang mampu menjadi pembaharu di manajemen Madrasah seperti layaknya cracker yang mampu melakukan lompatan dalam manajemennya.
4. Melakukan penerapan dna pengemabangan strategi Manajemen Berbasis Madrasah secara kaffah
5. Madrasah harus menerapkan Total Quality Education yaitu dengan stimulasi dan korehensi proses belajar mengajar sehingga tidak terjadi distegrasi kurikulum dan analisis kebutuhan kelompok siswa
6. Perencanaan harus memperhatikan tuntutan masyarakat karena sebuah lembaga menghasilkan lulusan tidak terlepas dari kebutuhan pasar sehingga madrasah harus tanggap dengan percepatan globalisasi dan informasi yang berkembang.
7. Melakukan pengembangan strategi pembelajaran dengan cara mengubah cara belajar dengan tradisional atau warisan menjadi belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif keheuristik dari memiliki ke menjadi, dari mekalis ke kreatif dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi kuat, dari memandang dan menerima ilmu sebagai final yang mapan menjadi memandang menerima ilmu dalam dimensi proses dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, tetapi mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan oleh karena itu keteladanan merupakan cara yang amat baik odalam menumbuh kembangkan budi pekerti luhur, kesetiakawanan social, disiplin dan etos kerja.[22]
8. Kurikulum madrasah yang sangat banyak perlu dipertimbangkan dan ditinjau ulang sesuai dengan alokasi waktu dan daya serap siswa sehingga tidak menghasilkan peserta didik yang menguasai pelajaran setengah-setengah.
9. Melakukan pengembangan strategi bakat dan minat siswa yaitu dengan melihat kecerdasan majemuk siswa. Sehingga siswa diberikan kebebasan untuk memilih program kegiatan sesuai dengan keinginannya.
10. Melakukan pengembangan strategi lingkungan belajar dengan menata lingkungan belajar menjadi kondusif
11. Melakukan pengembangan strategi sarana dan prasarana yaitu tersedianya seluruh media pembelajaran dan sarana prasarana yang megoptimalkan pembelajaran.
12. Peningkatan guru yang lebih bermutu guna proses dalam manejemen madrasah dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
13. Penerapan manajemen modern atau manajemen mutu dan internalisasi nilai-nilai religius dengan kepemimpinan trasformatif-visioner, priotas jangka panjang, menumbuhkan motivasi pegawai, meningkatkan kemampuan dan kreatifitas guru dan pemberian penghargaan baik secara materi maupun non materi. Penanaman nilai religius yakni dengan nilai ibadah, nilai jihat,amanah dan ikhlas, akhlak dan kedisiplinan serta keteladanan.
14. Melakukan trobosan baru dalam memanaj madrasah baik dengan cara pemasaran melalui media elektronik maupun media cetak dan mampu menunjukkan mutu sehingga pencitraan Madrasah yang miring menjadi baik.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis menawarkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 sebagai solusi dalam manajemen Madrasaha yang selama ini berkembang. “Persyaratan standar yang digunakan untuk mengakses kemampuan organisasi dalam memenuhi persyaratan pelanggan dan peraturan yang sesuai” Fokus ada pada proses, bukan produk dengan berdasar pola Plan-Do-Check-Action (PDCA). 1) Pendekatan Proses, 2)Fokus Pada Pelanggan, 3)Peningkatan Berkesinambungan. Bagan di bawah ini menunjukkan upaya manajemen untuk mencapai mutu dengan pola PDAC
mutu |
waktu |
upaya manajemen |
P |
D |
A |
C |
Gambar II
Sistem Pola Manajemen Mutu ISO 9001:2000
ISO disusun berdasarkan kepada delapan prinsip manajemen kualitas yakni:
1. Focus kepada pelanggan, organisaasi tergantung kepada pelanggan, karena itu manajemen organisasi harus memahami kebutuhan pelanggan sekaran yang akan datang, harus memenuhi kebutuhan pelanggan dan giat berusaha melebihi ekspetasi pelaggan
2. Kepemimpinan menetapkan kesatuan tujuan arah dari organisasi. Harus dapat menciptakan dan memelihara lingkungan internal agar orang-orang dapat menjadi terlibat secara penuh dalam mencapai tujuan
3. Keterlibatan orang-orang pada semua tingkat merupakan factor yang sangat penting. Pendekatan proses,
4. Pendekatan system terhadap manajemen
5. Peningkatan terus menerus
6. Pendekatan factual dalam pembuatan keputusan
7. Hubungan saling menguntungkan antara lembaga dengan konsumen pendidikan
Model proses ISO 9001:2000 terdiri dari lima bagian utama yang menjabarkan system manajemen mutu organisasi sebagai berikut;
1. System manajemen mutu
2. Tanggung jawab manajemen
3. Manajemen sumber daya
4. Realisasi produk atau output
5. Pengukuran, analisis dan peningkatan mutu
Adapun langkah –langkah implementasi sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 sebagai berikut:
1. Suatu Lembaga Madrasah Ibtidaiyah bila ingin berhasil mencapai tujuannya dimulai dengan adanya suatu arahan yang jelas dari pemimpinnya mengenai tujuan dinyatakan dalam visi dan misi yang dijabarkan lagi kedalam kebijakan dan sasaran mutu.
2. Lembaga Madrasah Ibtidaiyah tergantung pada pelanggannya dan fihak-fihak berkepentingan untuk itu Lembaga Madrasah Ibtidaiyah harus mengetahui keinginan pelanggan saat ini dan harapannya untuk masa mendatang pimpinan harus mengetahui hal ini dilukiskan dengan garis putus-putus dan menginformasikan keseluruh bagian dari Lembaga Madrasah Ibtidaiyah
3. Visi dan misi sebagai rencana strategis memerlukan sebagai tersedianya sumber daya ( manusia, peralatan, metode, dan keuangan) untuk dapat merealisasikan persyaratan dan harapan pelanggan oleh karena itu disini perlu dipastikan adanya komitmen pimpinan untuk menyediakan sumber daya
4. Sumber daya harus dikelola untuk menghasilkan produk/jasa yang sesuai dengan persyaratan pelanggan.
5. Dengan adanya perencanaan strategis tersedianya sumberdaya yang tercukupi maka dapat dilakukan proses realisasi produk/jasa yang mendapatkan masukan persyaratan pelanggan. Persyaratan-persyaratan tersebut diubah menjadi urutan proses internal Lembaga Madrasah Ibtidaiyah yang harus dikendalikan dengan memperhatikan keterkaitan dan ketergantungan antar proses tersebut.
6. Produk/jasa yang dihasilkan akan diterima oleh pelanggan. Pada fase ini akan terjadi proses pembandingan antara harapan pelanggan dengan produk jasa yang diterima yang akan melahirkan kondisi puas atau tidak puas. Lembaga Madrasah Ibtidaiyah harus mengetahui kepuasan dari langganannya.
7. Sebagai tindak lanjut dari pengukuran kepuasan pelanggan, efektifitas dan efesiensi penerapan sistem manajemen, proses dan produk perlu dilakukan analisis terhadap dua data tersebut. hasil analisis data harus ditindak lanjut dengan suatu program peningkatan
8. Program-program peningkatan akan menuntut arahan dan tersedianya sumber daya. Hal ini dibutuhkan kembali komitmen pemimpin untuk menjalankannya. Dengan demikian, proses perbaikan berkesinambungan terus berlanjut tanpa berhenti dengan tujuan akhir untuk mendapatkan keuntungan bagi organisasi.[23]
Untuk mendapatkan mutu yang baik tentunya mencakup dari aspek input-proses –out put. Input pendidikan adalah semua perangkat yang mendukung berlangsungnya proses, perangkat yang dimaksud berupa kebijakan-kebijakan dan sumber daya yang mendukung peningkatan mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan. Input kebijakan mulai dari perumusan kebijakan mutu (terumusnya mutu, terumusnya strategi pencapaian mutu, terumusnya kendali mutu, terumusnya pengukuran mutu, dan kebijakan tersebut sampai tersosialisasi (terpahaminya kebijakan mutu oleh warga sekolah, terwujutnya komitmen mutu oleh warga sekolah, terbentuknya karakter budaya oleh warga sekolah/ madrasah) dan input pendidikan yang mengarah pada sumber daya yakni perencanaan yang matang (memiliki visi, misi, tujuan, strategi, target, sesuai dengan kebutuhan nasional, daerah, masyarakat, orang tua, siswa, memiliki rencana pengembangan sekolah dan rencana program). Memiliki adanya anggaran yang layak, memiliki srategi pencapaian dana, memiliki manajemen keuangan dan manajemen perlengkapan yang baik[24] oleh krena itu makin tinggi kesiapan input makin berkualitas input.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengelolaan input pendidikan dilakukan secara harmonis sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, mampu mendorong motivasi dan minat belajar dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik yaitu peserta didik tidak sekedar menguasai pelajaran yang diberikan oleh gurunya akan tetapi peserta didik dapat menghayati memahami dan merasuk didalam nurani dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari serta yang lebih penting lagi mampu belajar terus menerus.
Proses pendidikan yang dimaksud mengarah kepada kepemimpinan yang kuat; proses pembelajaran yang efektif; tenaga kependidikan terkelola secara baik, adanya budaya mutu adanya team work yang cerdas, kompak, dan dinamis adanya kemandirian sekolah/madrasah; partisispasi warga sekolah dan masyarakat; transparan manajemen ; kemampuan untuk berubah responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan serta memiliki akuntabilitas.[25]
Out put disini adalah kinerja sekolah/madrasah ialah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses/prilaku sekolah/madrasah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, evektifitasnya, produktifitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus dengan mutu out put sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya belajar siswa menunjukkan pencapaia yang tinggi dalam; prestasi akademik dan prestasi non akademik [26] secara rinci diuraikan dibawah ini;
Instrument input
1. Kebijakan mutu dan harapan dan tujuan
2. Sumber daya
3. Berorientasi siswa
4. Manajemen
Instrument proses
1. Pembelajaran yang berorientasi kepada: learninf ti know, learning to do, learning to be, learning to live together
2. Kepemimpinan yang demokratis meliputi ; kemampuan manajerial, kemampuan mobilisasi dan memiliki otonomi luas
3. Lingkungan ; aman, nyaman dan manusiawi
4. Pengelola tenaga efektif meliputi, perencanaan, pengembangan dan penilaian
5. Memiliki budaya mutu yaitu kerja sama, merasa memiliki, mau berubah, mau meningkatkan diri dan dinamis
6. Tim kerja kompak, cerdas dan dinamis
7. Partisipasi masyarakat tinggi
8. Memiliki akuntabilitas yang meliputi laporan prestasi dan respon/tanggapan masyarakat
Instrument out put
1. Prestasi akademik dan non akademik
Maka secara konkrit strategi yang dapat ditempuh dalam rangka membangun kualitas madrasah ialah dengan ; meningkatkan kualitas dan sinergitas manajemen sumber daya madrash, menetapkan core competency madrasah, membangun network dan partnership dengan fihak lain , membuat program yang excellen and relevan /link and match dengan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan evaluasi diri secara konsisten dan berkelanjutan.
D. Bagaimana perbedaan manajer, leader dan ceakker dalam pengelolaan pendidikan di MI untuk memajukan lembaga tersebut?
Secara umum perbedaan manajer, leader dan cracker adalah seperti yang terlihat pada table di bawah ini;
No | Manajer | Pemimpin | Cracker |
1 | Seseorang yang mempertahankan dan bekerja dengan system | Mengajak anda melompat ke tingkata atas manajer dengan mengubah haluan | Mengubah wajah industry |
2 | Mencari rasa aman, menghindari hal-hal baru dan beresiko belum pasti | Menantang gagasan-gagasan lama dan mengajak anda menantang gagasan-gagasannya | Menembus segala hambatan |
3 | Cendrung wait and see | Tindakan lebih penting dari justifikasi, take action, see and do | Rela bekerja keras dan mendengarkan hal-hal baru |
4 | Memprioritaskan kestabilan usaha | Mengambil resiko | Bongkar cara pikir lama |
5 | Waktu bekerja untuk kantor keluarga dan ibadah | Prioritas naik kelas, pembaharuan | Know your self, yours costumer and competitor |
6 | penting bekerja dengan justifikasi | Mengangkat telpon berinisiatif | Terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, membangun kapasitas baru |
7 | Menunggu arahan dan telpon | Memberi arahan | Mengadaptasi secara radikal dan adaptasi lagi |
8 | Mengisi kelander dengan arahan dari orang lain | Waktu terbagi : masyarakat-kantor –keluarga | Menciptakan hal-hal baru enggan mengikuti yang lama |
9 | Orientasi internal | Orientasi eksternal –internal | Ambil segala resiko |
10 | Ia merupakan miIlik keluarganya | Ia adalah milik bangsanya | Ukur segala resiko |
Berdasarkan tabel diatas maka manajer dalam pendidikan MI ialah seseorang yang mengelola pendidikan di lingkup madrasah dengan pengelolaan system yang telah ditetapkan oleh pusat (kementerian agama) dan mencari titik aman tidak berani keluar dari titik aman karena rasa takut yang dapat mengancam jabatannya (internal) dan menjaga kestabilan lembaga yang dikelolanya bersifat kaku serta cendrung pasif tidak tanggap dengan situasi dan kondisi lembaga yang dikelola yang cendrung menunggu dan hanya melihat, penting bekerja dengan jutstifikasi sehingga lamban dalam mengambil keputusan dan tindakan.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak mengarahkan, menasehati, membina, membimbing, melatih, menyuruh memerintah, melarang dan bahkan menghukum seluruh sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara afektif dan efisien pengertian ini menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan terdapat tiga unsure yaitu pemimpin, anggota dan situasi disini yang berperan sebagai pemimpin dalam madrasah ibtidaiyah ialah kepala madrasah.
Maka mengaitkan dengan table di atas pemimpin dalam pengelolaan madrasah ibtidaiyah ialah seseorang yang mampu mengubah atau membelok dari system yang telah di tetapkan oleh pemerintah pusat yang dinilai lambat dan sudah tidak update lagi untuk direalisasi dalam pengeolaan madrasah, mempunyai gagasan atau ide yang cemerlang guna menantang gagasan lama dia seseorang yang tidak bisa diam, menunggu dan melihat saja namun cepat bertindak yang berani mengambil resiko dengan memprioritaskan kualitas atau peningkatan lembaga yang sedang dikelolanya, mampu memberikan arahan, bimbingan dan bertindak tegas apabila ada yang melanggar dengan berorientasi eksternal dan internal yang tidak hanya mementingkan kepentingan pribadinya saja namun berawal dari semua komponen organisasi baru berorientasi kepada diri sendiri.
Kreacker dalam pengelolaan pendidikan madrasah ibtidaiyah ialah seseorang yang mampu mengubah wajah industry pendidikan dengan manajemen madrasah ibtidaiyah yang berbasis tradisional kepada manajemen berbasis modern atau internasional. Yang membuka peluang besar yang menimbulkan kehancuran atau keretakan pada teritori tetangga mereka, namun membentuk peluang baru bagi industry pendidikan yang belum dikenal.” pada perubahan ini menimbulkan banyak ancaman dan tantangan yang pada akhirnya mereka bisa mendapat kesempatan. Kreacker tidak bertidak sebagai penantang tantangan namun sebagai menembus tantangan yang menghalanginya dalam berlayar mengarungi tuntutan global, rela bekerja keras dan selalu mencari informasi baru agar tidak tertinggal dengan perkembangan lembaga pendidikan lainnya, mencabut pola piker lama yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman dapat menguasai pasar pendidikan dengan melihat kemampuan diri dapat memuaskan pelanggan serta mempelajari pesaing pasar pendidikan agar mutu kualitas pendidikan yang dihasilkan menjadi bets of the bets, disamping itu terbuka terhadap gagasan-gagasan baru sehingga mampu membangun kapasitas baru mampu mengkritisi resiko dan berani mengambil semua resiko yang diawali dengan pengukuran tingkatan resiko dengan menghasilkan terobosan-terobosan spektakuler yang berkualitas.
Maka jika di cermati pemimpin atau kepala madrasah cenderung mengadopsi system kepemimpinan manajer ini karena didikan system sentralisasi yang hingga sampai saat ini di sebagian pelaksaannya masih dianut walaupun sebagian kecil sudah ada yang mengadopsi sebagai pemimpin. Sehingga pendidikan madrsah ibtidaiyah kalah bersaiang di kancah pemasaran pendidikan. Jika madrasah ingin bangun dari keterpurukan di cari atau di butuhkan seorang kreacer untuk menjadi pioner dalam menerobos percaturan pasar pendidikan baik di tingkat daerah, nasional maupun hingga ke tingkat internaasional sekalipun.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://dakir.wordpress.com/2009/04/18/pendidikan-periode-madrasah/
[1] Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: Ridamulia, 1995 hal. 205
[1] Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, Yogyakarta: Kota kembang, 2008
[1] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren, Yogyakarta: Lista Friska Putra 2004., hal. 33
[1] A. Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 99.
[1] Ibid, hal.100-101.
[1] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 hal. 241
[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Kencana, 2009 hal. 292
[1] Sutrisno, Pendidikan Islam .., hal. 78
[1] Maksum, Madarasah, Sejarah dan Perkembangannya, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999 hal 98
[1] Syarifuddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Press Jakarta, 2005 hal. 209
[1] Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Yogyakarta : SUKA –Press UIN Sunan Kalijaga, 2010, hal. 170
[1] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung: Rmaja Rosdakarya, 2004, cett. VII, hal.5
[1] Agus Maimun & Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan, Malang: UIN MALIKI Press, 2010 hal. 6
[1] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen .., hal. 58
[1] Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dan Departemen Agama Direktorat Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam Program Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Berbasis Sekolah/ Madrasah Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dan Departemen Agama Direktorat Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam, 2009
[1] Dadang Dally Balanced Score Card : Suatu Pendekatan Dalam Implemantasi Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010 hal 19-20
[1] Kartini, Kartono, Ilmu Pendidikan Teoritis bandung: Mandar Maju, 1992 hal. 39
[1] Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: PT Rakasta Samasta, 2005, hal. 145
[1] Agus Maimun & Agus Zaenul Fitri, Madrasah …, hal. 25
[1] Ibid
[1] Ibid.., hal. 68
[1] Ara Hidayat, Imam Machali, Pengelolaan.., hal 329-330
[1] Abdul Rahman Shaleh, madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grapindo persada, 2006 hal 242-244
[1] Ibid.., hal 244-246
[1] Ibid.., 247
[1] http://dakir.wordpress.com/2009/04/18/pendidikan-periode-madrasah/
[2] Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: Ridamulia, 1995 hal. 205
[3] Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, Yogyakarta: Kota kembang, 2008
[4] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren, Yogyakarta: Lista Friska Putra 2004., hal. 33
[5] A. Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 99.
[6] Ibid, hal.100-101.
[7] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 hal. 241
[8] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Kencana, 2009 hal. 292
[9] Sutrisno, Pendidikan Islam .., hal. 78
[10] Maksum, Madarasah, Sejarah dan Perkembangannya, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999 hal 98
[11] Syarifuddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Press Jakarta, 2005 hal. 209
[12] Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Yogyakarta : SUKA –Press UIN Sunan Kalijaga, 2010, hal. 170
[13] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung: Rmaja Rosdakarya, 2004, cett. VII, hal.5
[14] Agus Maimun & Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan, Malang: UIN MALIKI Press, 2010 hal. 6
[15] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen .., hal. 58
[16] Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dan Departemen Agama Direktorat Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam Program Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Berbasis Sekolah/ Madrasah Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dan Departemen Agama Direktorat Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam, 2009
[17] Dadang Dally Balanced Score Card : Suatu Pendekatan Dalam Implemantasi Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010 hal 19-20
[18] Kartini, Kartono, Ilmu Pendidikan Teoritis bandung: Mandar Maju, 1992 hal. 39
[19] Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: PT Rakasta Samasta, 2005, hal. 145
[20] Agus Maimun & Agus Zaenul Fitri, Madrasah …, hal. 25
[21] Ibid
[22] Ibid.., hal. 68
[24] Abdul Rahman Shaleh, madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grapindo persada, 2006 hal 242-244
[25] Ibid.., hal 244-246
[26] Ibid.., 247
Tidak ada komentar:
Posting Komentar