BAB I
PENDAHULUAN
Sesungguhnya pendidikan adalah masalah besar dan sangat penting yang aktual sepanjang zaman, karena pendidikan orang dapat menjadi maju, dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu mengolah alam yang di karuniai oleh sang pencipta yaitu Allah Swt kepada insan di dunia, setiap insan dianjurkan untuk terus belajar dari ayunan hingga ke liang lahad.
Berbicara mengenai pendidikan Islam tentulah sangat luas yaitu baik pendidikan dari ruang maupun waktu, yang di mulai dari penanaman nyawa hingga pada pencabutan nyawa, adapun pendidikan yang di peroleh di dunia ini melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Bertitik tolak dari itu seperti yang kita ketahui perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang penuh dengan sekelumit persoalan dalam keberadaan di kancah persaingan globalisasi yang semakin pesat. Yang membuka sudut pandang para pemikir pendidikan Islam mengalami perkembangan yang tidak hanya larut dengan tuntutan keagamaan karena seseorang yang hidup didunia harus mampu memberikan peran pada alam hidupnya, jika para pemikir pendidikan Islam di masa klasik khususnya di Indonesia yang ironisnya ilmu itu akan datang sendiri dengan hidayahnya konon tanpa harus mencari hanya cukup dengan pengamalan dan pendekatan kepada sang pencipta dengan mengesampingkan pendidikan umum.
Dengan perkembangan pendidikan yang melaju cepat dan signifikan, yang diawali dengan pendidikan dari keluarga, berkumpul di masjid sehingga muncul minat yang tinggi dari masyarakat untuk mendirikan sebuah pendidikan yang berdomisili langsung di tempat pendidikan tersebut hingga pada pengkolaborasian pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum yang dapat menciptakan ulama –ulama intelekual hingga pada jenjang perguruan tinggi. Maka pada makalah ini penulis tertarik membahas pendidikan Islam yang berkembang dan melakukan pembaharuan dimulai dari pondok pasantren dan sekolah hingga penyatuan antara sekolah dengan pesantren di dalam madrasah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Perjalanan sejarah pesantren telah menjadi objek yang menarik untuk diteliti, bagi para sarjana barat yang mempelajari Islam dengan misi pemahaman terhadap agama dan dakwah Islamiah. Awal mula Islam masuk ke Indonesia ialah dengan penyebaran agama Islam oleh mubalig pertama melalui penerangan dan amalan melalui pendidikan berbentuk pondok pesantren, kemudian mengalami perkembangan dan pertumbuhan sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat maka dapat dikatakan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan pertama yang dikenal oleh umat Islam Indonesia. Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pondok pasantren sangat unik baik dalam pendekatan pembelajaran maupun pandangan hidup dan tataran nilai yang dianut, struktur pembagian kewenangan dan semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya.
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti, tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian.[1]Istilah pesantren masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Hindu, sebelum datangnya Islam hal itu berarti metode dan kurikulum di pasantren banyak diwarnai non Islam adapun setelah berkembangnya ajaran Islam maka lembaga pesantren itu mendapat isi ajaran Islam.[2]
2. Perkembangan Pesantren
Menurut Nurchalish Madjid di dalam buku Amin Haedari mengatakan bahwa pesantren merupakan artefak peradaban Indonesia yang di bangun sebagai instiusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous. Pasantren mempunyai berbagai macam nama lain sesuai dengan daerahnya, jika di minang kabau disebut dengan surau di Aceh disebut meunasah dan di kalimantan disebut dengan rangkang.[3]
Adapun tujuan didirikannya pesantren menurut yang disebutkan Wiki Pedia- adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa bahasa Arab. Hal tersebut memang benar adanya, namun disamping itu, tujuan didirikannya pesantren adalah sebagai pusat dakwah Islamiyah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam dan meningkatkan iman dan ketakwaan kaum muslim.[4] Terdapat tri dharma pondok pasantren yaitu peningkatan keimamanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT, pengembangan keilmuan yang bermanfaat dan pengapdian terhadap agama, masyarakat dan agama.[5]
Pondok pasantren menggunakan manhaj dalam bentuk kitab-kitab yang harus dipelajari dengan tuntas tamatnya satuan pendidikan tidak dilihat dari waktu tetapi tuntasnya santri dalam mengkaji kitab tersebut sehingga menghasilkan 4 kompetensi lulusan pondok pasantren yaitu; memahami, menghayati, mengamalkan dan mengajarkan isi kitab tertentu yang telah di tetapkan kompetensi tersebut tercerminkan pada penguasaan kitab-kitab secara graduatif.[6] Jika pada pesantren salafiah durasi waktu pembelajarannya tidak menggunakan satuan waktu tetapi berdasarkan waktu tamatnya kitab yang dipelajari.
Layaknya proses belajar mengajar yang menggunakan metode pembelajaran agar tercapainya tujuan pendidikan maka pada pondok pasantren juga menggunakan metode-metode saat pembelajaran berlangsung adapun metode-metode yang diadobsi oleh pondok pasantren baik yang asli dari pembelajaran pondok pasantren maupun dari pembelajaran modren yang meliputi metode sorongan, wetonan, musyawarah, pengajian pasaran, demontrasi.[7] Kultur belajar mengajar di pesantren yang banyak dirasakan kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F Mas’udi ini karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat Islam zaman Pertengahan abad ke 13 M.
Proses penilaian pada pondok pasantren ialah setelah santri menyelesaikan pendidikannya beberapa tahun di menekuni ilmu dan telah tampak mampu menguasai ilmu tersebut maka dihadapkan pada sidang yang di hadiri oleh para kiyai dan santri senior dan di tanyai tentang ilmu yang sudah di pelajari dengan teknik diskusi atau kajian lisan seperti ilmu falak, bahasa dll. Apabila terdapat kecakapan pada diri santri maka di berikan penghargaan dengan memberikan hak mengajarkan ilmu-ilmunnya, berfatwa dll.[8]
Sebuah lembaga dapat dikatakan pondok pasantren apabila didalamnya terdapat paling sedikit lima komponen yaitu kiyai, santri, pengajian, asrama dan masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatannya. Yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren adalah kiyai[9] pesantren yang telah muncul sekitar 500 tahun yang lalu dapat berdiri tegak dengan kukuh dengan menyeimbangi diri mengikuti percepatan globalisasi hingga mengasilkan pesantren yang modren dengan berbagai macam pengkolaborasian materi dan metode pembelajaran yang diadobsi dari sekolah dan madrasah hingga muncul berbagai macam bentuk pesanren.
Adapun beberapa tipologi pesantren yaitu: a). Pesantren Salafiah, salaf artinya lama atau tradisional yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik yang berbahasa arab tanpa diberikan pengetahuan umum, b) Pesantren Khalafiah, khalaf artinya kemudian atau belakang yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal, memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan keterampilan. Pendidikan disini dilakukan dengan cara berkelanjutan, c) Pasantren kombinasi yaitu pasantren yang berada di rentangan pasantren salafiah dan khalafiah,[10]d) Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah, e) Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja, dengan program yang terintegrasi.[11] Hingga sampai saat ini pesantren dengan berbagai macam bentuknya masih kita jumpai.
Peranan pondok pesantren dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat, pondok pasantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan tetapi juga sebagai lembaga pemberdayaan umat merupakan petunjuk yang amat berarti bahwa pondok pasantren sebagai sarana bagi pengembangan potensi dan pemberdayaan umat, pondok pasantren dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat bahwa disini tempat yang tepat untuk menempa ahlak dan budi pekerti yang baik sehingga pada masyarakat tertentu terdapat kecendrungan memberikan kepercayaan pendidikan hanya kepada pondok pasantren, disini juga pondok pasantren pada pembelajarannya melakukan magang di beberapa tempat sebagai fasilitator jadi peranan sumber daya manusia, serta pondok pasanren sebagai agent of development .
Pondok pasantren walaupun dipimpin oleh seorang kyai secara otokratif akan teapi watak inklusifnya begitu mendalam sehingga pasantren menjadi akulturasi kebudayaan antar daerah berkenaan dengan ini kepemimpinan pondok pesantren memlikik watak pemersatu. Watak kemandirian yang selalu ditanamkan dalam dunia pasantren menjadikan alumninya siap untuk hidup mandiri [12]
Potensi yang dimiliki oleh pondok pasantren ialah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang populis didirikan oleh dan untuk masyarakat sangat berperan dalam pembentukan moral bangsa. Adanya figur ulama tokoh karismatik pada pondok pasantren yang disegani menjadi panutan masyarakat, tersedianya SDM yang cukup memadai pada pondok pasantren, jiwa kemandirian, keiklasan, kesederhanaan yang tumbuh di kalangan para santri dan keluarga besar pesantren, minat masyarakat cukup besar terhadap pasantren, karena disamping di berikan pendidikan agama dan pelajaran umum, juga bimbingan moral yang lebih mendalam jika di bandingkan dengan sekolah umum. Dikalangan kemasyarakat berkembang aspek kehidupan pada pondok pasantren pendidikan agama yang identik dengan pengajian kitab, pendidikan dakwah, pendidikan seni islami dan penyelenggaraan kegiatan sosial.
Jika melihat potensi yang dihasilkan oleh lulusan pondok pesantren bisa di katakan cukup bagus dengan hubungan sosial namun sangat di sayangkan pada era percepatan teknologi ini para lulusan dari pondok pesantren sangat sedikit yang terserap pada jenjang pendidikan selanjutnya dan pada lapangan kerja yang menuntut kedalaman ilmu umum khususnya di bidang ilmu teknologi sehingga masyarakat beralih untuk memilih pendidikan umum sebagai pendidikan anaknya hingga berdampak pondok pesantren yang semakin minim santrinya khususnya pesantren salafiah. Tidak hanya itu perhatian pemerintah juga tidak sebanding dengan pendidikan umum lainnya baik pengadaan sarana dan prasarana maupun alokasi dana yang di kucurkan kepada pondok pesantren yang sangat minim, ditambah dengan kualitas para pengajar yang sangat minim. sehingga citra pondok pasantren di nomor duakan khususnya bagi masyarakat ekonomi ke atas (sudut pandang pasantren salafiah).
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa perubahan dan inprovisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulumnya, berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya. Tidak di nafikan bahwa beberapa pondok pasantren modren yang sudah mengadopsi kurikulum pemerintah dengan memasukkan materi pelajaran umum dan teknologi tanpa menghilangkan dan tetap menomor satukan pembelajaran keagamaan yang sudah dikolaborasi dengan sedemikian rupa untuk menghadapi persaingan tuntutan di era globalisasi saat ini sebut saja Pasantren Gontor, pasantren al- Amin, yang sudah sangat tersohor di seluruh pendengaran masyarakat akan kualitas out put yang dihasilkan sehingga dapat bersaing dengan sekolah umum lainnya.
B. Madrasah
1. Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Madrasah merupakan isim makan dari katab darasa yang berarti tempat duduk untuk belajar. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.[13]
Lembaga pendidikan madrasah telah di kenal di timur tengah hanya saja pendidikan pada saat itu sebagai pendidikan keilmuan tingkat tinggi, Pada abad 11-12 M Wazir Bani Saljuk, Nizam al-Mulk mendirikan madrasah Nizamiyah di Bagdad sebuah pendidikan yang bertujuan memperkaya khazanah lembaga pendidikan di masyarakat Islam.[14] Menurut George Makdisi mengungkapkan di kutip oleh Ainurrafiq bahwa akar sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam berawal dari masjid pada abad ke 8-9, awal perkembangan madrasah karena pemerintahan memiliki andil yang cukup besar seperti Nidzam al-Mulk 1063 M, Nur al-Din Zanky 1146-1174 M dsb. Dan perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya[15], disini jelas terlihat antara fihak pemerintah dan swasta bekerja sama dalam melakukan perkembangan madrasah sehingga madrasah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang maju dan berkembang adalah sesuatu yang sangat utopis, inilah awal mulanya sejarah perkembangan madrasah di dunia Islam. Berbeda halnya jika di dalam negeri madrasah adalah pendidikan yang memberikan pengajaran Islam pada tingkat rendah dan menengah.
2. Latar Belakang Munculnya Madrasah di Indonesia
Pada masa penjajahan Jepang sikap Pemerintahan Jepang terhadap Islam berbeda dengan sikap Belanda, Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, mereka lebih mementingkan keperluan kepentingan perang, sehingga mereka lebih memilih pro dengan umat Islam, yang menjadi mayoritas di Indonesia untuk mendapatkan dukungan. Lain halnya dengan Belanda yang membatasi ruang gerak Islam baik pendidikan maupun organisasi-organisasi Islam. Hal ini dilakukan Belanda karena selain bertindak sebagai kaum penjajah, mereka juga memiliki misi yang tak kalah penting yaitu menyebarkan agama kristen.
Dengan dikeluarkannya kebijakan Jepang tentang upacara sei Keirei bagi sekolah-sekolah menuai banyak protes diantaranya adalah dua orang tokoh Islam yang memiliki andil cukup besar terhadap perkembangan Islam. Adalah Dr. Hamka, reformis Minangkabau yang baru dibebaskan dari pembuangan di Jawa barat pada masa kolonial Belanda. Beliau tanpa takut-takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran shinto yang mengharuskan menyembah kaisar dan matahari terbit dengan Islam yang monotheisme. Tokoh lainnya adalah Abdul Kahar Muzakar, seorang pemimpin pemuda Muhammadiyah, yang langsung menyatakan ketidak setujuannya di depan prof. Ozaki. Berkat dua orang tokoh ini akhirnya menghasilkan peraturan baru yang membebaskan umat Islam dari pelaksanaan upacara Sei kierei.[16]
Pendidikan Islam berkembang secara pesat pada masa penjajahan Jepang terjadi di Minangkabau. Pada tahun pertama masuknya tentara Jepang, ulama-ulama Minangkabau bersatu padu menghadapi politik yang akan dijalankan oleh Jepang dengan mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau, yang berpusat di Bukit Tinggi, dan ditunjuk Mahmud Yunus sebagai penasihat dikantor residen Padang. Berkat usahanya, kepala Jawatan menyetujui untuk memasukan pendidikan agama Islam ke sekolah-sekolah pemerintah pada waktu itu. Mahmud Yunus juga diperbolehkan untuk melaksanakan pengajaran di Majelis Islam Tinggi sehingga diadakan pelatihan-pelatihan guru agama dibawah pimpinan Mahmud Yunus. Kemudian pada bulan Maret 1945, Mahmud Yunus diangkat oleh pemerintah Jepang sebagai pemeriksa Agama di Sumatera Barat. Sejak saat itu bertambah banyaklah pelajaran agama yang masuk ke sekolah-sekolah pemerintah. Madrasah Awaliyah pun berkembang pesat pada masa ini. Di Minangkabau madrasah awaliyah diadakan di sore hari dengan lama belajar satu setengah jam perhari. Materi pelajaran yang diberikan berupa : membaca al Quran, ibadah, akhlak dan keimanan.
Di Kalimantan didirikan pula perkumpulan madrasah-madrasah Islam Amuntasi yang disingkat menjadi IMI, Ikatan Madrasah Islam Amuntasi ini didirikan pada tanggal 15 Maret 1945. Adapun tujuan dari perkumpulan tersebut adalah : Menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran Islam, memperluas berdirinya perguruan-perguruan Islam, dan memperbaiki organisasi dan pengelola perguruan-perguruan Islam yang telah ada, agar sesuai dengan keinginan masyarakat luas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu langkah yang diambil adalah dengan mendirikan perguruan-perguruan Islam.[17]
Bertitik tolak dari hal tersebut maka latar belakang perumbuhan madrasah di Indonesia didorong oleh: a) sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam, b) usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren kearah kesuatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan kelulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, yaitu ijazah dengan peluang pekerjaan, c) dan sebagai upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pasantren dengan sistem modern dari hasil akulturasi sekolah yang di pelopori oleh belanda,[18] d) menguaknya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Hingga munculnya kelompok organisasi yang bertujuan pengembalian kepada al-Qur’an dan hadis semagat nasionalisme dalam melawan penjajahan belanda yang dimulai pada abad 20.
Mukti Ali mensinyalir bahwa pada masa penjajahan Belanda ini, pendidikan terpecah menjadi dua golongan yaitu pendidikan yang sekuler dan pendidikan Agama. Oleh karena itu madrasah merupakan pleace bertemunya proses pembelajaran antara pesantren dengan sekolah. Karel A. Steenbrik menguraikan bahwa madrasah yang berdiri di indonesia adalah Adabiah School, Madrasah Diniah Zainuddin Labai, Madrasah Nahdlatul Ulama dll.[19]
3. Perkembangan Madrasah
Perubahan ke madrasah dari pendidikan pesantren dan sekolah yaitu sekolah umum yang bercirikan Islam dengan cakupan tanggung jawab: a) sebagai lembaga pencerdasan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya, khususnya masyarakat islami, b) sebagai lembaga pelestarian budaya keislaman bagi masyarakat Indonesia dan sebagai lembaga pelopor bagi peningkatan kualitas masyarakat Indonesia dan muslim khususnya.[20]
Madrasah dikelola oleh Kementerian Agama, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia mengupayakan untuk menjembantani kensenjangan antara model pendidikan sekolah dengan pesantren, jika melihat sejarah madrasah yang sangat di dukung oleh pemerintah dan bangsawan berbeda halnya dengan Indonesia yang kurang memperhatikannya namun terdapat sedikit celah perhatian pemerintah pada tahun 1975 munculnya Surat keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang terdiri dari menteri agama, pendidikan dan kebudayaan serta dalam negeri yang memuat materi pelajaran pada madrasah 70% umum dan 30 % agama, Steenbrink beranggapan bahwa membuat kerugian terhadap madrasah. Namun jika meneropong dari sudut dikotomi sangat positif dengan adanya SKB 3 menteri ini antara ilmu agama dengan ilmu umum.[21]
Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya, tidak hanya itu madrasah merupakan pengembangan dari pesantren yang sudah memasukkan materi pelajaran umum. Materi pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan tingkat kecerdasan murid, dimulai dengan pelajaran yang mudah terus dilanjutkan secara berangsur sampai selesai tingkat pengetahuan dasar. Cara penyajian juga sudah disusun sedemikian sehingga mudah dipahami oleh anak-anak.
Pelajaran juga telah diatur dalam suatu jadwal tertentu dan teratur. Satu hari hanya belajar kira-kira 5 jam yang diselingi oleh beberapa kali waktu istirahat. Di dalam waktu yang 5 jam itu dibagi lagi dalam tiga bahagian dan masing-masing bahagian diselingi oleh waktu istirahat secukupnya. Ke dalam bahagian itu dimasukkan 3 atau 4 mata pelajaran yang akan diberikan untuk satu hari. Jadwal pelajaran disusun perminggu, artinya dalam satu minggu semua jenis materi pelajaran harus diberikan dan minggu depan kembali lagi seperti minggu sebelumnya dengan materi pelajaran lanjutan minggu sebelumnya. Materi pelajaran tidak boleh menyimpang dari bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Untuk menentukan seorang murid naik atau tinggal kelas diadakan ujian atau ulangan terhadap materi pelajaran yang telah diberikan. Prestasi seorang murid dinyatakan dalam bentuk angka 0 sampai 10. Nilai 10 menyatakan prestasi murid terbaik, sebaliknya nilai 0 menyatakan prestasi yang paling buruk yang dicapai oleh seorang murid. Dalam menentukan kemampuan seorang murid berbeda dengan sistem pesantren, pada madrasah kemampuan murid diukur hanya penguasaan bahan pelajaran selama satu tahun saja sedangkan pada tahun terakhir dari pendidikannya diadakan ujian umum. Pengukuran kemampuan murid dilakukan secara bertahap tidak sekaligus seperti pada sistem surau. Penyelengaraan madrasah betul-betul sudah merupakan perkembangan baru dalam pendidikan, khususnya dalam pendidikan Islam.
Kurikulum pada bidang studi agama Islam di bagi kepada beberapa sub yaitu fiqh, akidah Akhlak, al-Qur-an Hadis, sejarah kebudayaan Islam, didalam badaya sekolah siswi memakai jilbab dan siswa memakai celana panjang pada proses pembelajaran berlangsung siswa membaca doa dan ketika memulai dan mengakhiri pembelajaran mengucapkan salam. Subtansi perubahan kebijakan madrasah dari sekolah mengkhususkan diri pada kajian agama islam dalam rangka mengarahkan, membimbing, membina dan melahirkan pendidikan madrasah yang qualified mampu mengembangkan kognitif, akfektif dan psikomotor.[22]
Pada kepemimpinan pendidikan modren perlunya memperhatikan hal-hal pokok yang harus di miliki yaitu : 1) visioner, mempunyai wawasan luas dan matang sehingga mampu merumuskan visi dan misi serta selalu bertindak proaktif dalam mengikuti perkembangan dan dinamisasi program pendidikan dalam kehidupan. 2) pemersatu, mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda –beda disuatu lembaga pendidikan sehingga menjadi kekuatan sinergi hingga bermanfaat bagi semua fihak. 3) pemberdaya, pemimpin ialah seorang moivator, pendorong, suka menolong orang lain, dalam diri pemimpin terccermin pribadi yang demokrat, inklusif, deligatif dan komunikatif, empatif dan responsif. 4) pengendalian emosional yang tidak hanya pada akal tetapi juga hati, 5) integritas yang harus taat pada prinsip moral dan hukum dalam semua aspek kehidupan termasuk kehidupan akademik. [23]
Disini jelas tampak bahwa peran madrasah sangat srategis terhadap pendidikan Islam di Indonesia karena sebagai wadah berkumpulnya pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan Islam hingga mampu mencetak kader yang intelektual tinggi berbasis keislaman. Yang diharapkan dapat menjadi khalifah yang sempurna di muka bumi ini, walaupun tidak di pungkiri perhatian masarakat dan pemerintah terhadap madrasah masih minim.
C. Sekolah
1. Pengertian Sekolah
Kata sekolah berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak ditengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.
Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah. Kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah.Jumlah wakil kepala sekolah di setiap sekolah berbeda, tergantung dengan kebutuhannya.Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengan fasilitas yang lain. Ketersediaan sarana dalam suatu sekolah mempunyai peran penting dalam terlaksananya proses pendidikan
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah. Nama-nama untuk sekolah-sekolah ini bervariasi menurut negara (dibahas pada bagian Daerah di bawah), tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan pendidikan dasar.[24]
Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka; keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, hawzas, yeshivas dan lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan militer
Sekolah menurut status terbagi dari:
- Sekolah negeri, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi.
- Sekolah swasta, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh non-pemerintah/swasta, penyelenggara berupa badan berupa yayasan pendidikan yang sampai saat ini badan hukum penyelenggara pendidikan masih berupa rancangan peraturan pemerintah.
2. Latar Belakang Munculnya Sekolah di Indonesia
Sekolah telah diperkenalkan oleh Belanda di Indonesia dengan nama Europeesche Lagere School dan disingkat dengan ELS adalah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Sekolah yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan belanda, dengan etische politiek (kepotangan budi) di negara jajahan belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR). Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda.
Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga (untuk meningkatkan produktivitas ditanah jajahannya). Sejak tahun 1903 kesempatan belajar resmi diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah HIS dan ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja.
Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1907 (yang pada tahun 1914 berganti nama menjadi (Hollandsch-Inlandsche School (HIS)), sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908.[25]
Peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali dikeluarkan pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana sekolah harus ada pada setiap Karesidenan (?), Kabupaten (?), Kawedanan (?), atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting: irigasi, transmigrasi, pendidikan.
Pada zaman Hindia Belanda anak masuk HIS pada usia 6 th dan tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Frobels), sehingga langsung masuk dan selama 7 tahun belajar. Setelah itu dapat melanjutkan ke MULO, atau Kweekschool. Untuk memasuki HBS diperlukan syarat yang sangat ketat, tamatan HIS tidak dapat masuk HBS. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya memilih jalur HCS (Hollands Chineesche School) karena selain bahasa pengantar Belanda, juga diberikan bahasa Tionghoa.
3. Perkembangan Sekolah
Saat ini dengan perkembangan waktu seperti sekolah yang kita liat saat ini sangat ketat dalam materi umum, dengan menggunakan kurikulum yang telah tersedia oleh pemerintah baik mulai pada perekrutan siswa hingga pada out put siswa selalu dimasukkn dengan pendidikan yang berbasis kognitif tanpa mellihatt dan pertimbangan dengan pendidikan akhlak dan moral peserta didik, metode pembelajaran yang di tawarkan sangat beragam tidak hanya itu strategi pembelajaran muali dari Quantum Learning, CTL, SCL, Aktive Learning dll.
Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan sumum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat. Sistem pembelajaran pada sekolah didominasi oleh metode pengajaran dan kurang berpeluang untuk menerapkan metode pembiasaan yang sangat srategis dan tepat bagi penanaman nilai-nilai, disamping materi pembelajarannya di sekolah memang paling minim di bandingkan dengan pondok pesantren dan madrasah.
Kurikulum di sekolah pada umumnya berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan, material dan fisikal, waktu pembelajaran kurikulernya juga sangat terbatas, semua itu ikut melatar belakangi sistem pendidikan persekolahan hingga sangat berorientasi pada kognitif [26]
Cliffon Fadiman menyatakan bahwa sekolah kini masih merupakan peta utama atau satu-satunya lembaga untuk pulau harta karun yang merasuk pada pikiran anak didik sendiri. Oleh karena itu kondisi semacam ini menuntut adanya kesinambungan yang berarti dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan tetap dinyatakan sebagai pranata sosial yang paling mendominasi terhadap pranata-pranata lain.[27]
Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah dengan pesantren didalam pengembangan karakter dan penanaman nilai-nilai moral dan pengaplikasiannya serta pengawasannya ini terlihat pada sistem pembelajaran dan manajemennya jika pada sekolah guru dan kepala hanya melakukan pengawasan pada jam sekolah saja waku pembelajan yang di tawarkan pada pembelajaran keagamaan sangat minim sehingga penerapan dan pengawasan akhlak dan moral siswa tidak dapat di lakukan. Berbeda halnya dengan pesantren yang bersifat memondok aau menginap di pasantren yang aktivitas santri selalu di awasi oleh Kyai dan kakak kelasnya sehingga sistem yang di terapkan dapat teraplikasi dengan maksimal hingga dapat melahirkan santri yang berakhlak mulia.
Maka berdasarkan uraian di atas dapat penulis merangkum tentang perbedaan dan persamaan antara Pesantren dengan Madrasah dan Sekolah seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
BIDANG | PESANTREN | MADRASAH | SEKOLAH |
Pendiri | Kyai | Masyarakat | Pemerintah |
Sejarah | Masuknya Islam Ke Indonesia pada abad ke 13 M | Penjembatan antara Pesantren dengan Sekolah, didirikan pada masa penjajahan Jepang tahun 1945 | Didirikan oleh bangsa Belanda tahun 1870 |
Tujuan | Menguasai al-Qur’an dan Hadis | Keilmuan Islami | Keilmuan |
Kurikulum | Tidak Memakai Kurikulum | Memakai Kurikulum | Memakai Kurikulum |
Materi | Kitab-Kitab Kuning, al-Qur’an dan al-Hadis, Bahasa Arab | SKI, Aqidah –akhlak, B. Arab, Fiqh dan al-Qur’an dan hadis serta Pelajaran Umum | Pelajaran Umum dengan materi agama hanya 2 Jam dalam 1 Minggu |
Metode | Weton dan Sorongan | Metode mengajar | Metode belajar |
Evaluasi | Dengan Lisan | Lisan dan tulisan | Lisan dan tulisan |
Kelebihan | 1. Dapat di adopsi oleh berbagai jenjang baik dari kalangan anak-anak, remaja hingga dewasa. 2. Penanaman pengawasan Akhlak 3. Hubungan emosional yang baik antara warga pesantren 4. Terbentuknya rasa empati dan keiklasan, kejujuran yang tinggi. 5. Lulusan mampu membaca kitab kuning/klasik dan berbahasa arab 6. Biaya pendidikannya terjangkau atau murah. 7. Menjadi solusi pendidikan rakyat miskin. 8. Penta’ziman terhadap Kiyai yang tinggi. 9. Pemupukan life skill siswa baik dengan bercocok tanam maupun keterampilan lainnya 10. Dana Pendidikan dari Kiyai atau Santri | 1. Siswa mendapatkan ilmu agama sekaligus ilmu umum 2. Dapat menjembatani pesantren dengan seekolah 3. Pendidikan umum yang tidak kehilangan keislamannya 4. Dapat melanjutan ke jenjang pendidikan umum. 5. Mendapat ijazah yang setara dengan sekolah umum 6. Pendidikan islam yang mengdopsi kurikulum dari Dinas pendidikan 7. Di bawah wewenang Kementerian Agama 8. Dana Pendidikan dari Masyarakat | 1. Berkualitasnya pendidikan umum 2. Mampu bersaing dengan tuntutan percepatan kelimuan Global. 3. Pendidikannya terkesan bersifat kognitif. 4. Pencitraan yang bagus di kalangan masyarakat. 5. Input pada sekolah cendrung berkualitas 6. Pengajar umum yang berkualitas. 7. Dibawah wewenang Kementerian Pendidikan. 8. Dana pendidikan dari pemerintah dan siswa |
Kekurangan | 1. Status Ijazah yang tidak diakui bahkan tidak mendapat ijazah 2. Pendidikan yang tidak ada kurikulum sehingga pendidikan yang harus di jalani dengan menghabiskan waktu yang sangat panjang 3. Berlebihan penghargaan terhadap kiyai sehingga pendapat kiyai yang terkadang terdapat kesalahan tidak dapat di bantah atau disalahkan. 4. Minimya kogniktif di bidang ilmu Umum | 1. Banyaknya mata pelajaran yang diemban sehingga membuat peserta didik tidak fokus yang berdampak pada hasil Ujian Nasional di bawah Sekolah 2. Kemampuan yang dimiliki siswa tidak maksimal baik di bidang keagamaan maupun di bidang ilmu umum. 3. Pencitraan yang kurang baik di mata masyarakat terhadap kualitas pendidikan. 4. Pendidik yang kurang berkualitas | 1. Minimnya materi pelajaran keagamaan 2. Penanaman akhlak yang minim 3. Banyaknya tauran-tauran yang di lakukan oleh siswa dari sekolah umum 4. Tidak adanya hubungan emosional yang baik dengan seluruh warga sekolah. 5. Out put yang dihasilkan kurang bisa menunjukkan prilaku yang terpuji |
Pada tabel diatas secara gamblang dapat dicerna berbagai macam perbedaan baik dari latar belakang munculnya hingga pada sistem dan pelaksanaan pembelajarannya. Namun pada kelebihan dan kekurangannya jika pesantren yang sekarang mampu berdiri tegak dalam perkembangan global yang tetap eksis hingga saat ini, yaitu sebagian pesantren telah mengadobsi kurikulum pendidikan yang di tawarkan oleh pemerintah sehingga jika melihat tuntutan kualitas pendidikan saat ini seyogyanya yang menjadi acuan pendidikan yang komperhensif adalah pendidikan pesantren moderen yang sudah mengadopsi sistem pendidikan di sekolah.
Selain mendapatkan pendidikan secara formal dan informal pada pesantren juga terdapat pendidikan non formal yang bertidak sebagai keluarga besar dengan santri pemeran sebagai anak dan Kiyai sebagai orang tua dan kakak kelas sebagai kakak santri ilmu yang di ajarkan diwajibkan untuk di berikan kepada santri yang berada pada jenjang pendidikan bawah. Dengan sistem seperti ini pendidikan islam di indonesia dapat berkembang mengikuti perkembangan zaman dan eksis di kancah pendidikan global seperti sabda Rasulullah SAW. Jika kamu ingin selamat dunia maka pelajarilah ilmu dunia dan jika kamu ingin selamat akhirat maka kuasailah ilmu akhirat. Jika kamu ingin selamat kedua-duanya maka hendaklah kamu pelajari kedua-duannya, maka pesantrenlah moderenlah yang tepat untuk pelaksanaan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan islam tidak bisa diartikan dalam pandangan sempit hanya pada keagamaan akan tetapi secara global, melihat perkembangan pondok pasanttren yang terus berbenah dan mempunyai peran penting di dunia pendidikan islam serta pencittraan madrasah yang masih sangat memprihatinkan walaupun sudah diakui oleh pemerintah namun madrasah dan pesantren masih dianak tirikan baik di bidang sarana dan prasarana dan pembiayaan.
Walau pendidikan di bidang yang keagamaan ini di nomor duakan, namun pondok pesantren dan madrasah dapatt menghasilkan out put yang baik yang mampu bersaing dengan tuntuan global khususnya pada etika, moral dan akhlak yang cukup mengembirakan.
Saran
Dengan mengkaji mendalam dengan peran pendidikan islam maka perlunya mengadakan revitalisasi pendidikan islam yang di usung oleh para pakar islam seperti ibnu sina, ibnu Ar-Rasyd, yang menjadi pengukir sejarah keilmuan, berbeda halnya dengan masa kini yang lemah dalam melakukan experimen –experimen sehingga kaum non muslim yang menguasai dunia saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Yogyakarta : SUKA –Press UIN Sunan Kalijaga, 2010
Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren, Yogyakarta: Lista Friska Putra 2004
Amin Haedari, Masa Depan Pesantren, Jakarta, Ird Press, 2004
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta, Pondok Pasantren dan Madrasah, Jakarta: Departemen agama RI Direktora Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen agama RI Direktora Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2006
Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: Ridamulia, 1995
Maksum, Madarasah, Sejarah dan Perkembangannya, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru), Jakarta: Departemen agama RI Direktora Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2005
Syarifuddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Press Jakarta, 2005
[2] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen agama RI Direktora Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2006 hal. 95
[3] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pasantren dan Madrasah, Jakarta: Departemen agama RI Direktora Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003, hal 96
[4] http://taimullah.wordpress.com/2010/02/13/sejarah-peran-dan-perkembangan-pesantren/
[5] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok .., , hal. 29
[6] Ibid.., hal. 32
[7] Ibid.., hal. 39
[8] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren, Yogyakarta: Lista Friska Putra, 2004 hal. 103
[10] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pasantren ., hal. 31
[11] http://tsalmans.blogspot.com/2010/05/pengertian-pondok-pesantren.html
[12] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen .., hal. 74
[13] http://dakir.wordpress.com/2009/04/18/pendidikan-periode-madrasah/
[14] Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta: Ridamulia, 1995 hal. 205
[15] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen .., hal. 33
[16] A. Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 99.
[17] Ibid, hal.100-101.
[18] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 hal. 241
[19] Maksum, Madarasah, Sejarah dan Perkembangannya, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999 hal 98
[20] Syarifuddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Press Jakarta, 2005 hal. 209
[21] Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Yogyakarta : SUKA –Press UIN Sunan Kalijaga, 2010, hal. 170
[22] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen .., 2004 hal. 58
[23] Ibid., hal. 78
[26] Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit .., hal. 172
[27] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu .., hal. 242
Tidak ada komentar:
Posting Komentar