I. PENDAHULUAN
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara yang kedua sebagai hal yang bersifat normatif-doktrinal.[1] Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Agama.
Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana cara (pengkaji) mendekati objek (agama [Islam]) tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian pendekatan ini nantinya akan mempengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif atau tidak. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak dan seterusnya.
Para pakar study agama (Islam), dengan melihat kesatuan proses yang panjang, mengklasifikasikannya dalam dua pendekatan. Dalam istilah J. Koren dan Y.D. Nevo kedua pendekatan itu ialah pendekatan tradisional (The traditional approach) dan pendekatan kritik sumber (The source critical approach/ The revisionist approach).[2] Sementara Charles J. Adams mengistilahkannya dengan pendekatan normatif (The normative approaches) dan pendekatan deskriptif (The descriptive approaches). Pendekatan normative meliputi: Pendekatan misionaris tradisional, pendekatan pembelaan muslim (The Muslim apologetic approach), dan pendekatan irenic (simpati). Kemudian yang digolongkan pada pendekatan deskriptif antara lain: pendekatan philologi dan sejarah, pendekatan ilmu sosial (social scientiific approach), dan pendekatan Fenomenologis.[3]
Selanjutnya pada pembahasan ini pemakalah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan kritik sumber dalam studi Islam, pembahasan tersebut diantaranya: jenis-jenis kritik sumber, pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami agama dan contoh aplikasi kritik sumber.
II. PEMBAHASAN
A. Jenis –jenis Kritik Sumber
Melalui kritik sumber diinginkan agar setiap data-data sejarah yang diberikan oleh informan hendak diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya, sehingga semua data itu sesuai dengan fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya. Terdapat 2 (dua) jenis kritik sumber, eksternal dan internal.
1. Kritik Eksternal:
Kritik eksternal ingin menguji otentisitas (keaslian) suatu sumber, agar diperoleh sumber yang sungguh-sungguh asli dan bukannya tiruan atau palsu. Sumber yang asli biasanya waktu dan tempatnya diketahui. Makin luas dan makin dapat dipercaya pengetahuan kita mengenai suatu sumber, akan makin asli sumber itu.
Dalam hubungannya dengan historiografi otentisitas suatu sumber mengacu kepada masalah sumber primer dan sumber sekunder. Maka konsep otentisitas (keaslian) memilik derajat tertentu, dan terdapat tiga kemungkinan otensitas (keaslian) suatu sumber, yakni sepenuhya asli, sebagian asli, dan tidak asli. Dalam hubungan ini dapat diinterpretasikan bahwa sumber primer adalah sumber yang sepenuhnya asli, sedang sumber sekunder memiliki derajat keaslian tertentu.
Kritik eksternal memiliki fungsi negatif, artinya dengan kritik eksternal peneliti berusaha untuk menjauhkan diri dari penggunaan bukti atau dokumen yang palsu, sementara kritik internal fungsinya lebih bersifat positif, artinya melalui kritik eksternal tersebut peneliti akan lebih berupaya menggunakan bukti-bukti yang terbukti kebenarannya (authenticated evidence).[4]
Sasaran kerja kritik eksternal adalah uji otentisitas (keaslian) suatu sumber atau dokumen. Uji otentisitas (keaslian) sumber atau dokumen sejarah dapat dilakukan melalui:
a. Determinasi Pengarang / Informan dan Tanggal
Determinasi pengarang atau informan suatu dokumen diperlukan untuk menentukan apakah nama yang tercantum dalam suatu dokumen sungguh-sungguh nama pengarang atau informan yang menyusun suatu dokumen. Uji nama pengarang atau informan ini menjadi suatu keharusan apabila terdapat kecurigaan bahwa ternyata terdapat kepalsuan dalam dokumen tersebut, baik sebagian atau malahan seluruhnya
b. Pemalsuan
Uji otentisitas (keaslian) suatu sumber atau dokumen yang kedua adalah uji terhadap pemalsuan (forgeries). Termasuk pemalsuan terhadap suatu dokumen adalah memalsukan seluruh dokumen atau artefak, melakukan interpolasi (penyisipan), plagiatisme, dan memutar-balikkan dokumen.
c. Restorasi Teks
Pada bagian-bagian tertentu suatu dokumen sering terdapat kerusakan, karena berbagai sebab. Beberapa karena adanya interpolasi (penyisipan) dengan sengaja, ada juga penyalinan dan pemindahan teks yang kurang cermat dan teliti.
Gejala modern yang menyulitkan pula menentukan siapa pengarang suatu buku atau artikel adalah termasuk ghostwriting (penulis untuk orang lain) dan plagiatisme (penjiplakan). Dalam hubungan ini diperlukan sikap hati-hati untuk menggunakannya sebagai acuan.
2. Kritik Internal:
Berbeda dengan kritik eksternal yang lebih menitikberatkan pada uji fisik suatu dokumen, maka kritik internal ingin menguji lebih jauh lagi mengenai isi dokumen. Uji kredibilitas disebut juga uji reliabilitas. Artinya sejarawan ingin menguji seberapa jauh dapat dipercaya kebenaran dari isi informasi yang diberikan oleh suatu sumber atsau dokumen sejarah. Sebagai suatu kritik, kritik internal lebih ’’higher’’, sebagai higher criticism.
Sasaran kerja kritik internal adalah uji kredibilitas informan atau pengarang (penulis) sumber atau dokumen. Uji krediblitas berupaya untuk menguji: (1) kemampuan untuk melapor atau menulis dokumen secara akurat, dan (2) kempauan untuk melapor atau menulis dokumen dengan benar. Tugas kerja ini dilakukan melalui uji-uji berikut:
a) Uji Kemampuan Memahami Makna Literal dan Real: ialah untuk menguji kemampuan informan atau pengarang dalam memahami kata-kata dalam suatu sumber atau dokumen sesuai dengan arti atau makna literal (harfiah) dan makna realnya.
b) Uji Kemampuan Observasi secara Detail: ialah untuk melakukan uji akurasi (kecermatan) dan uji nilai observasi secara detail dari saksi mata (eyewitness) suatu peristiwa. Kemampuan informan saksi mata dalam observasi merupakan hal yang menentukan kebenaran sejarah.
c) Uji Kemampuan Melaporkan secara Detail : ialah untuk menguji kemampuan penyusun (penulis) dokumen dalam menyusun laporannya secara detail (reporting the detail).
3. Koroborasi, Kontradiksi, dan Pengukuran
Koroborasi sebenarnya merupakan bagian dari kritik internal. Yang dimaksud dengan koroborasi adalah bukti-bukti (evidence) sejarah yang membenarkan atau memperkuat suatu pernyataan (statement). Dalam hal ini pun tugas sejarawan atau peneliti sejarah tidak jauh berbeda dengan tugas seorang polisi atau detektif. Untuk memperkuat bukti-bukti kejahatan yang telah berhasil dilacak seorang polisi atau detektif berupaya pula untuk mencari suatu koroborasi.
Proses koroborasi adalah proses membandingkan suatu bukti (evidence). Untuk itu diperlukan bukti lainnya sebagai pembanding, yakni bukti yang kontradiktif (contradictory evidence). Namun proses pembandingan ini tidak mudah, terlebih-lebih bila sumber data itu tunggal, sehingga tidak ada koroborasinya atau kontradiksinya. Dalam hal seperti itu kita sungguh-sungguh berada dalam keraguan yang sepenuhnya, kecuali kalau sumber data tunggal ini kredibilitasnya hampir tidak terbantahkan dan cukup berbobot. Di lain pihak malahan perlu ditunjukkan bahwa sejarah dewasa ini menunjukkan adanya berbagai masalah yang saling bertentangan, banyak di antaranya memerlukan sebagian atau keseluruhan bahan koroborasi.
Berapa banyak koroborasi diperlukan agar proses interpretasi menjadi terasa lebih enak ? Jawabannya tergantung pada permasalahannya dan bukti-bukti mana yang berbeda. Reliabilitas dan independensi suatu bukti sangatlah diharapkan, namun dua saksi mungkin tidak lebih baijk baik dibandingkan dengan hanya satu saksi. Itu semua bergantung pada jenis saksi dan jenis problemnya. Kiranya reliabilitas saksi koroboratif jauh lebih menentukan daripada jumlah koroborasinya.[5]
B. Pendekatan–Pendekatan di Dalam Memahami Agama
1. Pendekatan pilologi dan sejarah
Pada perguruan tinggi barat yang melacak perkembangan studi Islam perbandingan dengan kitab injil dengan itu mahasiswa harus berhadapan dengan bahasa arab. bahasa arab menempati posisi yang sangat sentral dalam kajian tentang semit.
Memahami Islam dalam sejarah turunnya dan penyebarannya sebagai realitas sosial yang berada dalam konteks sosial, dan oleh karenanya ia berinteraksi dengan realitas masyarakat ketika itu. Dalam perkembangan berikutnya Islam dipahami oleh umat Islam dalam ruang dan waktu yang sangat beragam yang berbeda ketika agama ini pertama muncul di zajirah arab. dengan dasar ini maka umat muslim perlu meninjau perjalanan ajaran Islam yang difahami dalam rentang sejarah yang cukup lama. Latar belakang kehadiran Islam tidak terlepas dari kontes sosial dan budaya masyarakat arab yang pada saat itu prinsip ketauhidan yang menyimpang dari aqidah dan pemasungan terhadap hak-hak asasi manusia. Disamping itu juga kehadiran nabi muhamamd saw yang dapat membawa ajarannya dengan mahkota kejujurannya. Sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu, membangun masa lalu itu sendiri atau bukan antikuarianisme yang dikonstruksi adalah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh orang yang di ungkapkan oleh Kontowijoyo. Sedangkan menurut Muqawin sejarah itu bukan mitos, bukan filsafat, bukan ilmu alam namun sejarah itu tentang manusia, tentang waktu, ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik ddari alam idealis kealam yang bersifat empiris dan mendunia, karena sejarah adalah suatu ilmu yang didalamnya di bahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek dan latar belakang serta prilaku dari peristiwa tersebut.[6]
2. Pendekatan sosiologi dan antropologi
Sosiologi merupakan suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang berkaitan. Menurut Charles J. Adams sosiolog memberikan perhatian terhadap elemen dan segmen tertentu kegiatan manusia dan mencoba mengembangkan metode yang dipandang sesui dengan studi untuk elemen dan segmen tertentu tersebut. Terdapat sejumlah faktor yang dapat dikatagori sebagai elemen dasar ilmu-ilmu sosial salah satunya yaitu keyakinan akan kemungkinan dan sekaligus kebutuhan untuk mengobyektifkan hal-hal yang menyangkut tingkah laku manusia dikarenakan hal-hal seputar hidup manusia dapat diobservasi sebagai realitas obyektif.
Dalam meneliti dan mengkaji agama, para ilmuan sosial berusaha mendapatkan aspek rill dan konkrit dan empiris dari kehidupan agama, dan didasarkan pada keyakinan bahwa dengan mendapatkan aspek ini mereka akan dapat memahami agama yang dimaksud, namun cara pandang ini dapat membawa kearah pandangan redaksionis tentang kehidupan keagamaan manusia yang berakibat apa yang disebut aspek ersebut tentang agama dan juga realitas sesungguhnya tentang agama bukan lagi menurut pandangan para penganu agama itu sendiri tetapi lebih berdasarkan pengaruh norma-norma sosial, dorongan-dorongan spesifik menyangkut stabilitas sosial, ketidak manpuan manusia untuk hidup dengan ketakuat-ketakutan yang tidak terpecahkan. Maka reaksi-reaksi dan respon-respon keagamaan terserabut dari sifat dasarnya berupa trasedental dan agama direduksi menjadi persoalan yang bersifat material belaka.[7]
Dengan pendekatan ini terhadap agama yang mengutamakan obyektifitas empiris dan kurang/tidak disadarinya unsur sakralitas dan transedentalitas menjadi ancaman serius terhadap makna dan validitas komitmen keagamaan. Jika studi demikian akan jauh bahkan tidak mungkin untuk bisa masuk pada inti dan esensi agama dan kehidupan agama itu sendiri. Pemahamannya lebih banyak di pengaruhai oleh dorongan-dorongan lain seperti dorongan sosial, psikologi, ekonomi, politik dan yang semacamnya. Padahal arti dan kebenaran satu agama itu bergantung berdasarkan atas pemahaman dan pengalaman penganut itu sendiri dan tidak bergantung semata-maa pada aspek–aspek luar atau empiris sebagaimana di kaji oleh para ilmu sosial. Disamping itu sosiologi mengandung kepentingan praktis yaitu kecendrungan untuk melakukan studi tentang masnusia dengan cara membagi aktifits manusia kepada segmen-segmen yang telah di pisah dan dipilah secara tegas dan tajam ada yang konsentrasi pada tingkah laku politik, organisasi sosial dan interaksinya, tingkah laku ekonomi dan semacamnya. Masing-masing disiplin tersebut cenderung mempunyai metode sendiri dan yakin akan kemapuhan masing-masing metode dan pendekata yang dimiliki.[8]
Sosiologi dalam sudi Islam adalah memahami Islam sebagai fenomena yang menyejaeah dalam bidang sosial dan budaya[9] dan pendekatan ini dilihat dari dinamika perspektif individu dalam memahami ajaran Islam. Perlu dipahami bahwa ragam dan corak keIslaman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam yang berbeda-beda tentang ajaran-ajaran Islam berdasarkan seting sosial dan budaya yang melatar belakangi sekaligus yang dihadapi umat itu sendiri. Disinilah kemudian muncul berbagai model pemahaman terhadap ajaran Islam. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan ini lebih mengutamakan pendekatan langsung bahkan sifatnya partisipatif. Maka dapat menemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondoisi ekonomi dan politik.[10] Disamping itu antropologi dan sosiologi dalam studi Islam ialah mencoba mengkaji keunikan karakter manusia muslim di berbagai tempat dan di belahan bumi dimana mereka menjalani hidupnya dengan berIslam. Maka setiap individu mempunyai sudut pandangannya sendiri didalam memahami ajaran agamanya.[11]
a. Pendekatan Revisionis
Pendekatan ini didasarkan pada asumsi –asumsi dasar dan premis –premis berikut ini :
1. Sumber-sumber tertulis, apapun dan bagaimana bentuknya tidak bisa menggambarkan apa yang benar-benar telah terjadi. Tetapi sebatas menjelaskan apa yang telah terjadi menurut penulisnya atau apa yang penulis inginkan tentang sesuatu yang telah tterjadi, atau apa yang diinginkan tentang sesuatu yang telah terjadi, atau apa yang diinginkan orang lain yakni bahwa sesuatu telah terjadi. Karena itu sebellum mencoba memahami historisitanya suattu peristiwa dalam dokumen tertulis harus di pahami terlebih dahulu pengetahuan dan keinginan penulis dookumen tersebut.
2. Hanya saksi mata yang bisa mengetahui apa yang ia tulis itupun juga masih dimungkinkan terjadinya interpestasi yang sesuai atau juga tidak sesuai dengan peristiwa yang diamati karena tidak jarang apa yang ditulis itu di pengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang telah di miliki sebelumnya
3. Karena keterbatasn kata-kata untuk menggambarkan peristiwa yang benar-benar terjadi maka tidak jarang terjadinya reduksi dalam proses penulisan tersebut. Dalam keadaan demikian seorang penulis mencoba membuat urutan-urutan, kesesuaiand dan konsekuensi seputar peristiwa yang di kaji sebenarnya tidak ada dalam peristiwa yang dimaksud.
4. Sejarah tentang tranmisi dokumen ttertulis pada masa awal patut di cermati, untuk tidak mengatakan meragukan. Hal ini tterjadi bukan hanya karena dimungkinkan terjadinya salah satu atau salah tulis, tetapi yang lebih serius karena terdapat perbedaan dari para penulis berikutnya pada hal mereka berdasarkan karyanya pada dokumen awal yang sama.
5. Karya tulis pasti belum pasti mngungkapkan apa yang benar-benar terjadi atau menyajikan fakta yang sebenarnya, tetapi hanya menyajikan pandangan penulisnya tentang suatu peristiwa yang diketahui. Jadi, kajian tentang hal ittu bukan wilayah kajian sejarah tetapi wilayah kajian literatur. Karena itu, informasi yang terdapay dalam karya tertulis harus di kroschek melalui hard facp ( bukti-bukti konkrit yang bbersifat material dan bukan berupa warisan tertulis.
6. Perlu disadari bahwa bukti tidak tidak tertulispun tidak sepi dari prblem peling tidak, bukti –bukti yang tersedia tidak terlepas dari kemungkinan berubah, kadang kala hanya tersisa sebagian atau bahkan telah menjadi serpiahn-serpihan yang terpisah. Namun hal yang sama juga bisa terjadi pada sumber tertulis
7. Bukti –bukti eksternal merupakan hal penting untuk diteliti ketika seorang sejarawan membaca bukti-bukti tertulis umat islam. Jika kita tidak bersedia memberi perhatian terhadap bukti-bukti lain (diluar bukti tertulis) yang usianya justru lebih tua, berarti kita harus menerima kenyataan bahwa tidak ada sesuatu yang bisa mendukung kebenaran bukti tersebut dengan kata lain pristiwa yang di teliti itu sebenarnya tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi paling tidak di ragukan.
8. Selama lebih satu abad para sarjana barat elah terbiasa menempatkan kitab suci (misalnya perjanjian lama ) sebagai sumber literatur yang harus dianalisa secara kritis dalam rangka mengungkap keaslian dan historitas teksnya. Metode ini kemudian di terapkan sarjana barat dalam mengkaji al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam. Sejalan dengan ini bahasa al-Qur’an juga diperlakukan sama yakni dikaji berddasarkan analisa kritis kebahasaan.[12] Pendekatan ini sering disebut juga dengan hermeuneutik.
Hermeneutik ialah suatu pemahaman terhadap pemahaman yang dilakukan seseorang dengan menelaah proses asumsi–asumsi yang berlaku dalam suatu pemahaman tersebut, termasuk diantaranya konteks-konteks yang dilingkupi dan mempengaruhi proses tersebut. Yaitu untuk meletakkan hasil pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai tidak hanya itu juga untuk melakukan suatu reproduksi makna dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk kontekstualisasi. Menurut riceour terdapat tiga langkah pemahaman yaitu; a). Langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol, b) pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna dan c) langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Dengan pendekatan ini mencoba memahami teks dengan secara keseluruhan dan tidak sepotong-potong, cara relatif dapat memberikan keutuhan teks dan konteks dalam memahami kitab suci.
3. Pendekatan fenomenologi
Terdapat dua karakteristik pendekatan ini yaitu; a) pentingnya neralitas artinya studi agama dengan pendekatan ini lebih menekankan upaya pemahaman seorang pengkaji agama terhadap agama yang dianut seseorang atau fihak lain para peneliti diharapkan untuk mengenyampingkan pemahaman seorang pengkaji agama tehadap agama yang dianut seseorang atau fihak lain. Seorang pengkaji agama dengan pendekatan ini memanfaatkan hasil kajian sejarah seperti sejarah, pilologi, arkeologi, studi literatur, psikologi, sosiologi, antropologi, pengumpulan semua data dan deskripsi semua data itu merupakan proses awal dari studi pendekatan ini. b) karakteristik konstruksi skema taxonomi dalam mengklasifikasi fenomenna dalam menembus batas-batas komunitas budaya, agama dan bahkan katagorisasi –katagorisasi. Proses pengumpulan data sebanyak mungkin yaitu mencoba mencari sekaligus menentukan katagorisasi yang mengelompokkan fenomena berdasarkan kesamaan –kesamaan yang mendasar yang dimiliki. Proses ini dilakukan dalam rangka mencermati struktur pengalaman keagamaan, yang pada dasarnya menjadi prinsip umum yang termanifestasi dalam kehidupan manusia. Proses ini menempatkan seorang fenomenolog dalam penelitian sejarah dan pilologi menyangkut sejumalah tradisi keagamaan tertentu. [13] peristiwa sejarah Pendekatan ini berfungsi melakukan pengamatan pada cara pandang orang terhadap ajaran Islam sekaligus membangun suatu pernyataan adakah bias-bias makna dan pemahaman serta pandangan-pandangan Islam terhadap ajaran Islam.[14]
4. Pendekatan kebudayaan
Kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Didalam kebudayaan itu tterdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, dan adat istiadat serta sebagainya kesemuanya itu digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapi.pengalaman agama yang terdapat dimasyarakat tersebut diperoleh oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya kita membaca kitab fiqih maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur’an maupun hadis yang sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia dengan demikian agam menjadi membuadaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkemabng di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.[15]
C. Contoh Aplikasi Kritik Sumber
Didalam tulisan ini penulis mengangkat perdagangan mekah, Muhammad SAW dan bangkitnya agama Islam yang di tulis oleh Faisal Ismail. Adapun yang melatar belakangi penelusuran ini ialah sebagaimana di ketahui bahwa Islam yang tumbuh di Mekah pada abad 7 M berkembang dengan sangat pesat hanya dalam kurun waktu 23 tahun yaitu 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah yang dipelopori oleh nabi Muhammad SAW.
Selama menjalani misinya Muhammad SAW banyak mendapat hambatan dari kaum Quraisy karena mereka merasa terusik dengan penyebaran Islam yang dilakukan oleh Muhammad SAW sehingga mereka selalu mengincar Muhammad SAW beserta pengikutnya untuk di bunuh oleh karena itu pada tahun 622 Muhammad SAW dan pengikutnya hijrah ke madinah untuk menyusun strategi baru untuk menyiarkan ajaran Islam di madinah Muhammad SAW mempersauddarakan kaum muhajirin dan kaum anshar dan disinilah rasulullah berhasil membangun komunitas muslim yang kuat. Dan kemudian terjadi peparangan antara kaum Quraisy dengan pengikut Muhammad SAW. dengan berjalannya waktu pada usia Muhammad SAW yang ke 63 semuah kawasan jazirah arab telah memeluk ajaran Islam. Dalam waktu yang relatif singkat Islam muncul dengan sebagai dinamika kekuatan politik, militer, ekonomi, sosial dan budaya. Pada penulisan ini Faisal ismail merumuskan dua persoalan yang ingin diketahuinya yaitu a). Apakah sebenarnya rahasia penting di balik proses kemunculan Islam itu? Atau, apakah peristiwa-peristiwa penting yang dapat diliha sebagai faktor-faktor utama yang memiliki dampak terhadap kemunculan Islam di tanah hijaz itu ? tentu saja ada faktor-faktor penting yang memberikan kontribusi secara nyata terhadap proses kemunculan Islam di arabia dan tidak mungkin bahwa gerak dan kemunculan Islam itu terjadi begitu saja secara kebetulan tanpa didahului atau disertai kejadian-kejadian penting yang ikut memainkan peran aktif dalam proses itu. Dan inilah yang menjadi hal yang menarik bagi sejarawan barat maupun muslim untuk menelitinya secara seksama.
Maka yang menjadi pengkritik dari sebuah tulisan William Montgomery Watt tahun 1953 yang berjudul Muhammad at Mecca, ialah Patricia Corne tahun 1987 ia juga sama –sama mengggunakan sumber-sumber primer dengan mengacu pada puisi-puisi yang di tuliskan pada masa pra Islam berbagai tafsir Qur’an. Kumpulan-kumpulan hadditts, buku-buku sejarah, dan sumber-sumber tradisional yang lain ia melakukan kritik terhadap Watt karena menurutnya Watt banyak mengguankan sumber-sumber pada kisah-kisah, cerita-cerita atau laporan-laporan yang di tulis oleh orang-orang tenang Mekkah dan perdagangannya tidak bersandar pada fakta-fakta nyata yang terjadi dalam lintasan sejarah. Dengan hasilnya ia mengaakan studi yang dilakukan oleh Watt tentang mekakkah dan perdagangan banyak mengandung fabrikasi dan mitos dari pada fakta dan realitas. Terlebih lagi menurut Crone, Watt dalam membahas perdagangan Mekkah hanya menuliskan kurang dari satu halaman dalam dua karyanya yang terkenal, Muhammad at meccca dan Muhammad at medina. Crone merasa sangat tidak puas terhadap hasil-hasil temuan peneliti Watt tentang perdagangan Mekah dan kemunculan Islam. Adapun yang menjadi point-point penting pada kritik sumber yang dilakukana Crone ini ialah :
1. Kota Mekah dan perdagangannya
Menurut Watt mekkkah meripakan kotta dagang yang bertaraf internasional ini karena posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perhubungan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria dan dari Abyssinia ke Irak. Selain itu, posisi Mekkah yang terletak di tanah haram semakin bertambah pamor dan prestise dirinya untuk dikunjungi oleh para penziarah dan para pedagang. Patricia Crone membantah pendapat Watt menurutnya Mekkah bukan merupakan pusat perdagangan internasional. Kalaupun ada aktivias dagang di Mekkah iu hanya bersifak lokal. Crone mengakui bahwa memang ada pusat-pusat perdagangan di Arab yang berkembang di kawasan daerah-daerah gersang, khususnya aden. Akan tetapi Aden dan kota-kota pantai di arabia selatan berkembang memenjadi pusat-pusat perdagangan karena terleak dikawasan pantai. Crone menambahkan Mekah adalah kota yeng terletak di pedalaman. Menurut logikanya lazimnya kota-kota yang terletak di daerah-daerah pantai yang dapat memainkan peranan sebagai lalu lintas niaga dan pusat-pusat perdagangan dan itu tidak mungkin dilakukan oleh kota mekah yang terletak jauh dipedalaman. Oleh karena itu Crone berkesimpuan bahwa mekah bukan pusat perdagangan bertaraf internasional, tetapi hanya bersifat lokal dan sama sekali tidak memiliki arti penting.
2. Tanah haram dan Perdagangan Mekkah
Watt mengatakan tumbuhnya mekah sebagai pusat perdagangan yang besar dan bergengsi disebabkan oleh kenyataan bahwa lokasi kota itu berada di tanah haram, dimana orang-orang datang ke mekah anpa rasa takut untuk diganggu dan di aniaya. Mekah dengan ka’bahnya menjadi pusat ziarah (haji) dan disana para pengunjung juga melakukan kontak-kontak dagang sehingga mekah terkenal sebagai salah satu pusat pasar raya yang termahsyur pada masa pra Islam. Crone menyatakan bahwa adalah keliru anggapan yang menyatakan bahwa mekah tumbuh menjadi pusat perdagangan yang besar dan prestisius karena terkait dengan ka’bah. Apalagi orang-orang Mekkah percaya bahwa perdagangan selama musim haji adalah terlarang. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa rahasia kemunculan Islam itu disebabkan oleh perdagangan mekah, menurut Crone adalah lebih merupakan mitos dan bukan fakta.
3. Barang-barang yang di perdagangkan
Menurut Watt dikarenakan Mekkah pusat perdagangan internasional maka komoditas- komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang mekah menurut Watt adalah barang-barang dagangan yang mewah seperti emas, perak, sutra, porselin, rempah-rempah, parfum, minyak wangi, kemenyan dan lain-lain. Pada mulanya Orang-orang Quraisy mekah, adalah orang –orang kelas menengah dan bekerja sebagai pengecer barang-barang dagangan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang mekah memperoleh sukses besar dan mereka pun menjadi para pengusaha di bidang bisnis. Dan lagi-lagi Crone menolak pendapat Watt, menurunya komoditas-komoditas yang di ekspor dan diperdagangkan oleh orang-orang Quraisy Mekah adalah bukan barang-barang eksotik seperti yang di ungkapkan oleh Watt namun barang-barang yang di perjual belikan adalah barang-barang biasa seperti kulit, tas kulit, pakaian, keledai, onta, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Menurutnya beberapa abad sebelumnya perdagangan kemenyan dan dupa pernah mencapai kawasan daratan mediteranean melalui jalan darat lewat arabia. Tetapi itu sudah lam terhenti dan kalaupun perdagangan itu ada, iu disebabkan keadaan politik yang bersifat khusus di arabia selatan. Cara yang lazim dan masuk akal untuk mengirim barang adalah melalui laut, dan Mekkah yang terkurung laut padang pasir tidaklah mungkin memainkan peranan dalam proses itu.
Crone menanyakan mengapa para Islamis begitu mudah mempercayai bahwa orang-orang Mekah memperdagangkan kemenyan, parfum, dan barang –barang luks lainnya? Crone mengatakan bahwa perdagangan kemenyan Yaman, misalnya menjelang abad pertama masehi adalah perdagangan maritim dan perdagangan kemenyan Hadramaut yang menyusul sesudah itu sesudah itu menjelang abad ke-3 M pasar Yunani romawi telah ambruk dan tidak pernah bangkit lagi. Pada saat mekah naik daun tidak ada perdagangan kemenyan melalui jalur darat ang diampil alih orang-orang Quraisy Mekkah dan juga sudah tidak adalagi pasar romawi bagi mereka untuk mengupayakan pengadaanya. Ini menunjukakn penegasan Crone bahwa di mekah bukan pusat perdagangan internasional akan tettapi hanya pada tingkat lokal.
4. Mitra-mitra dagang orang-orang Mekah
Watt menyatakan bahwa mitra-mitra dagang orang Mekkah melibakan banyak kota yang terjalin dalam suatu jaringan dagang yang luas dan kompleks. Menurutnya Mekkah terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perhubungan dari yaman ke Syiria dan dari Abyssinia (etihopia) ke Iraq, yang menjadikan Mekkah dan penduduknya mempunyai relasi dagang secara reguler dan permanen dengan negara-negara ttetangganya dan negara-negara asing lainnya. Berbeda halnya dengan Crone yang mengungkapkan bahwa yang dimaksud Yaman dalam hal ini adalah kawasan antara mekah dan najran, bukan kawasan selatan dari jazirah arab, orang-orang arab tidak mempunyai relasi dagang secara reguler dengan Irak dan Ethopia.
5. Kemunculan dan kebangkitan Islam
Watt berargumen kehidupan masyarakat arab sebelum masuk Islam sangat menghargai nilai-nilai solidaritas kesukuan dan solidaritas sosial, ciri yang sangat menonjol dari konfigurasi kehidupan mereka adalah muruwah yang sangat cocok tatanan ekonomi nomadik yang sudah lama mengakar kuat pada masyarakat Islam itu. orang-orang Mekkah memperoleh keberuntungan dan sukses besar dalam dunia bisnis dan perdagangan, maka solidaritas kesukuan dan solidaritas sosial yang berpondasi muruah tadi lambat laun terkikis dari tatanan nilai kehidupan mereka. Terjadinya transformasi sosial telah memicu jurang pemisah antara simiskin dengan si kaya tidak adanya kepedulian orang kaya kepada orang miskin dan anak yatim, penyalah gunakan harta warisan oleh saudarnya sendiri. Mereka hidup sendiri seolah-olah tidak bergantung kepada tuhan mereka menjadi kaum dahriyyin. Mereka telah mengalami krisis humanisme maka Muhammad melakukan respons untuk melakukan reformasi terhadap tatanan moral dan tatanan pesan agaman yang dibawanya. Muhammad mendapatkan wahyu diawal kariernya yaitu tanggap terhadap persoalan tersebut agar melakukan perhatian kepada fakir miskin dan anak yatim serta mengakui atas keberadaan Tuhan. Singkatnya Watt bereori bahwa perdagangan Mekkah adalah merupakan faktor yang yang sangat signifikasi bagi kemunculan Islam.
Sebaliknya Crone mengatakan Perdagangan Mekkah hanya bersifat Lokal dan barang-barang yang diperdagangankan berkualitas rendah yang didasari pada alasan berikut ini;
1. Mungkin dalam waktu yang relative singkat kekayaan komersial akan menimbulkan banyak kerusakan-kerusakan dalam kehidupan masyarakat Mekkah. Crone kemajuan perdagangan pada masaa itu tidak memberikan indikasi tentang runtuhnya norma-norma tradisional secara cepat karena hal itu akan memakan waktu yang cukup lama lebih 1 abad untuk meraih kesuksesan.
2. Orang –orang mekah telah menyembah berhala dan tidak adanya solidaritas, nmaun Crone; di Mekkah tidak tterjadi kelunturan solidaritas yang tinggi seperti Muhammad yang di asuh oleh pamannya ini menunjukkan sebagai bukti.
Menurutnya Watt terlalu berlebih-lebihan tidak mungkin kota terpencil memiliki berbagai problem dan munculnya Muhammad dalam merespos dan membangun agama dunia. Jadi kita seharusnya lebih mengkonsetrasikan perhatian pada faktor-faktor yang bersifat umum yang secara nyata ada dan terjadi di arab. ia berteori bahwa ada rasa persatuan dan kesatuan yang kuat dalam masyarakat arab yang didasarkan pada ikatan etnis dan kultural bukan pada ikatan ekonomis rasa persatuan ini tidak ada kaitannya dengan Mekkah, keberhasilan Muhammad adakaitan dengan pembentukan negara dan penaklukannya dan tidak ada bukti bahawa kepentingan-kepentingan komersial memberikan kontribusi kepada elite politik yang memerintah dalam pengambilan keputusan-keputusan.
Ia mengatakan bahwa muhammad sebenarnya ingin mencapai suatu tujuan dan misi politik untuk mempromisikan nasionalisme arab, orang-orang arab tidak terlalu sulit untuk meninggalkan agamanya karena agama yang di bawa oleh Muhammad memberikan janji-janji yang menggairahkan didunia ini yaitu kekuatan dan kekuasaan hingga menyebabkan militansi dan kebanggaan etnis mereka dengan identifikasi komunal yag mendorong-orang-orang arab untuk mendukungnya misi politik inilah yang menjadi daya pacu tersebarnya Islam secara meluas.dan negara yang didirikan Muhammad di madinah dibangun oleh seorang nabi bukan oleh seorang negarawan yang sekuler pada pilar otorittas keagamaan. Dengan demikian Crone menyimpulkan bahwa pada hakikatnya misi dan tujuan politik muhammad (sama sekali bukan perdagangan mekah yang di teorikan Watt) yang sebenarnya yang menjadi faktor signifikan bagi kemunculan Islam
Setelah patricia corne mengkritik sudut pandang William Montgomery Watt maka berbagai komentar dan kritik bermunculan dari para sejarawan lainnya terhadap ungkapan mereka mengenai perdagangan mekah, Muhammad SAW dan bangkitnya agama Islam yaitu R.B.Serjeat ia berkomentar bahwa stdi-studi awal yang dilakukan oleh para sarjana terddahulu masih menggunakan data yang terbatas khususnya ttentang masalah ekonomi dan itu suatu hal yang lazim yang terjadi dalam penelitian. Tetapi tidak adanya bukti-bukti yang terdapat dalam literatur-literatur tidak perlu berkesimpulan bahwa orang-orang Quraisy tidak memperjual belikan rempah-rempah.
Sebuah buku yang dituliskan oleh R. Stephen Humpreys yang menyodorkan argumen-argumen yang efektif berdasarkan dokumen-dokumen sejarah yang sangat luas yang mengajukan gugatan dan sanggahan secara radikal terhadap sejumlah pendapatt yang dianggap standar tentang lingkunagan sosioekonomik dimana Islam muncul.
Pada perbdaan pandangan Watt dengan Crone tentang karakteistik perdagangan diMekkah dengan pendekatan sudut pandang yang berbeda. Watt menilik dari sudut perubahan sosioekonomik sedangkan Crone menilik dari sudu politik akan tetapi sama menganalisis ddari perspektif kenyataan empiris yang mereka teliti sebagai realitas historis, politis dan sosiologis yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Mekkah.
III. KESIMPULAN dan PENUTUP
Secara umum studi agama bertujuan untuk menggali dasar-dasar ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis untuk dihadapkan dengan budaya dan dunia modern agar mampu memberikan alternative pemecahan masalah yang dihadapi umat. Denga tujuan tersebut maka setudi Islam (pendekatan dalam pengkajian Islam) akan menggunakan cara-cara yang relevan, diantaranya menggunakan studi kritik sumber.
Kritik sumber (sebagaimana telah dibahas dengan beberapa sub pembahasan: jenis-jenis kritik sumber, pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami agama dan contoh aplikasi kritik sumber), merupakan pendekatan yang dilakukan para ilmuan untuk mendapatkan jawaban atas gejolak jiwa terhadap keotentisitasan sumber, agar diperoleh sumber yang sungguh-sungguh asli dan bukannya tiruan atau palsu. Melalui kritik sumber diharapkan setiap data-data sejarah yang diberikan oleh informan hendak diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya, sehingga semua data itu sesuai dengan fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya.
Mempelajari Agama dengan berbagai pendekatan untuk menjawab segala persoalan yang muncul terlebih di era sekarang yang semakin jauh dari masa lahirnya Islam menjadi sangat penting, namun demikian pemakalah menyadari bahwasannya dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan ekeliruan. Oleh sebab itu pemakalah mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak (teman-teman PGMI) atas kritik dan masukan yang konstruktif demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akh. Minhaji, Sejarah Sosial Dalam Studi Islam (Teori, Metodologi dan Implementasi ), Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Press, 2010
_____________, Srategies For Social Research: The Methodological Imagination In Islamic Studies, Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Press, 2009
Andi Darmawan, Muqowin, dan Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Press, 2005
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Charles J. Adams “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (ed.), The Study of the Middle East: Research and Scholarship in The Humanities and The Social Sciences, Canada: John Wiley and Sonc, inc, 1976.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Al-Jumanatul ‘Ali. Seuntai Mutiara yang Luhur, Bandung: CV Jumanatul ‘Ali-Art, 2005.
http://pensa-sb.info/1954/kritik-sumber-verivikasi-dalam-sejarah/
J. Koren and Y.D. Nevo “Methodological Aapproaches to Islamic Studies” dalam ________, Early Islamic History, tk: Der Islam 68, 1991.
[1] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 11-12.
[2] J. Koren and Y.D. Nevo “Methodological Aapproaches to Islamic Studies” dalam ________, Early Islamic History, (tk: Der Islam 68, 1991),6.
[3] Charles J. Adams “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (ed.), The Study of the Middle East: Research and Scholarship in The Humanities and The Social Sciences, (Canada: John Wiley and Sonc, inc, 1976), 35 &41-53
[4] http://pensa-sb.info/1954/kritik-sumber-verivikasi-dalam-sejarah/
[7] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial Dalam Studi Islam Teori, Metodologi dan Implementasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2010), hal. 64-65.
[9] Andi Darmawan, Muqowin, dan Khoiruddin, Pengantar studi Islam, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2005), hal.113.
[10] Abuddin Nata, Metodologi .., hal 35
[11] Andi Darmawan, Muqowin, dan Khoiruddin, Pengantar .., hal.115
[12] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial Dalam.., hal 83-89
[14] Andi Darmawan, Muqowin, dan Khoiruddin, Pengantar .., hal.121
[15] Abuddin Nata, Metodologi .., hal 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar