Selasa, 22 Februari 2011

Hadits ditinjau dari Kualitas dan Kuantitas


BAB I
PENDAHULUAN
Dengan percepatan teknologi dan ilmu pengetahuan peradaban juga mengikuti perkembangan yang terjadi dengan muncul berbagai pemahaman dan pengkajian berbagai hukum yang tidak terjadi dimasa lampau hingga menimbulkan banyak perselisihan dalam memaknai sebuah peristiwa atau masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam khususnya yang menjadi panduan hidup di muka bumi ialahal-Qur’an yang berisikan jawaban tentang segala sesuatu yang ada di dunia baik secara tersirat maupun secara tersurat, namun konteksnya ada sebagian yang perlu penelaah lebih mendalam karena tidak di ungkapkan secara gamblang maka di perlukan pengkajian dengan memakai hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda Ku tinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang kepadanya nescaya kamu tidak akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnahku.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering di jumpai tidak serta merta dapat mengadopsi secara langsung,  hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk menetapkan kualitas hadis yang akan diimplementasikan, agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk menguak pembagian hadis yang selama ini beredar baik ditinjau dari kuantitasnya yang meliputi hadis mutawatir dan ahad maupun dari segi kualitasnya yang terdiri hadis sahih, hasan, daif dan maudhu, penulis menyadari didalam makalah sanagat jauh dari kempurnaan kritik dan saran pembaca secalian sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah ini.






BAB II
HADIS DI TINJAU DARI KUANTITASNYA
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para  perawi  para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. sebagian mereka melihat pembahagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.
Bagan I
 
A.    Hadits Mutawatir
1.      Pengertian
Secara etimologi kata mutawatir adalah isim fail dan masdar-nya adalah tawatur yang berarti mutabi’ (datang berturut-turut dan beriringan antara satu dengan yang lain ). Secara terminologi hadits mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana materi hadis tersebut bersifat inderawi, yang menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua tabaqahnya jika terdiri dari beberapa tabaqah.[1] 
Hadits mutawatir berarti sebuah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang secara umum mustahil untuk sepakat berbohong dari awal hingga puncaknya, nabi Muhammad SAW.[2] Menurut Nur Ad-din ‘Atar hadits mutawatir merupakan hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad hingga akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra.[3]
2.      Kinerja 
Adapun syarat hadits mutawatir ini yang lebih banyak merincikannya adalah ulama ushul. Sementara ulama hadits tidak banyak merincikannya karena menurut mereka hadits ini tidak termasuk kedalam pembahasan ilmu al – isnad yaitu ilmu yang membicarakan tentang sahih atau tidaknya, diamal tidaknya hadits, padahal dalam kajian hadits mutawatir tidak di bicarakan hal itu, jika di ketahui hadits mutawatir maka wajib melaksanakannya karena diyakini kebenarannya sekalipun perawinya orang kafir[4]
Adapun syarat hadits muawatir meliputi : a) hadits yang diriwayatkan harus melalui tanggapan panca indra, b) kualitas rawi sampai pada jumlah yang menurut adat mustahil mereka mufakat untuk berdusta hadis ini harus di riwayatkan oleh sejumlah perawi besar yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, mengenai jumlah perawinya ulama bebrbeda pendapat dalam menetapkan ada sebagian yang mengatakan jumlah perawi dalam hadis ini berbagai pendapat yang di muali dengan mengatakan 5, ada yang 12 dan ada 40 hingga sampai 70 orang perawi sebetulnya bukan merupakan hal yang pokok yang menjadi ukuran rawi namun diukur pada tercapainya ilmu dharuri, sekalipun perawinya hanya 5 orang asalkan memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan. c) adanya keseimbangan jumlah rawi di awal dan ditengah thabaqatnya dengan demikian jika suatu hadis diriwayatkan oleh 20 orang sahabat kemudian di terima oleh 10 tabi’in dan berikutnya hanya diterima 5 tabi’in tidak dapat di golongkan hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang akan tabaqat pertama dengan tabaqat-tabaqat selanjutnya, akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa keseimbangan jumalah rawi pada tiap tabaqat tidaklah terlalu penting sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi terhindar dari kemungkinan berbohong.[5]  
Menurut ulama  ada yang membagi hadits mutawatir kedua bagian dan ada pula yang membaginya kepada tiga bagian yaitu :
·         Hadist mutawatir lafzhi adalah hadits mutawatir periwayatannya dalam hal lafadz dan ada juga yang mengatakan mutawatir lafaz dan maknanya, Ibnu Hajar menolak pendapat ini, menurutnya diantara dalil yang paling baik untuk menetapkan adanya hadits mutawatir adalah kitab-kitab yang sudah terkenal diantara ahli ilmu baik ditimur dan di barat yang mereka yakin sah disandarkan kepada pengarang – pengarang apabila mereka berkumpul untuk meriwayatkan hadits maka menurut adat maka mustahil mereka sepakat untuk berdusta.[6]  Ibnu Salah mengatakan hadis yang seperti ini sangat jarang di temukan.[7]
·         Mutawatir maknawi adalah hadits yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta mereka menukilkan dalam berbagai bentuk tetapi mempunyai kesamaan dalam hal maknanya yang isinya mengandung satu hal, satu sifat atau sau perbuatan. Contohnya ‘’Abu Musa al-Asy’ari berkata : Nabi Muhammad SAW, berdoa kemudin ia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat puih-putih di kedua ketiaknya. Hadis seperti ini diriwatyatkan dari Nabi Muhammad SAW. Berjumlah sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai titik kesamaan yakni rasul mengangkat tangan saat berdo’a. Meski hadis-hadis tersebut berbeda-beda redaksinya, namun karena mempunyai qadar mustarak (titik persamaan) yang sama, yakni keadaan Rasulullah yang mengangkat tangan pada saat berdo’a, maka disebut sebagai hadis Mutawatir-maknawi[8]
·         Hadis muatawatir amali ialah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia termasuk urusan agama dan telah muatawatir antara umat Islam bahwa Rasullullah SAW. menyuruhnya atau mengerjakannya. Hadits ini banyak jumlahnya seperti hadist yang menerangkan waktu shalat, jumlah raka’at, salat ied, kadar zakat harta dll.[9]
3.      Kehujjahan  
Kehujjahan hadis mutawatir sudah diakui oleh semua ulama maka hadis mutawatir harus di terima dan wajib di amalkan karena tingkat hadis yang paling teratas dan sudah teruji kebenarannya. Hadits mutawatir telah disepakati oleh ulama oleh karenanya dapat di jadikan hujjah dan wajib mengamalkannya hadis muatawatir di anggap qath’iy, oleh karena itu hadis mutawatir tidak dibahas lagi perawinya.
B.     Hadis Ahad
1.      Pengertian
Al – Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu, jadi hadis ahad adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[10] Hadits ahad ialah hadist yang jumalah rawinya tidak mencapai mutawatir dan bila di tinjau setiap tabaqahnya hadits ahad ini tidak mencapai derajat mutawatir, dari sudut pandanganya tidak sampainya jumlah rawi setiap tabaqatnya.[11]
2.      Kinerja
Seperti halnya hadis muawatir hadis ahad juga terdapat beberapa bagian adapun beberapa bagian dalam hadis ahad ialah:  Hadis masyhur dan hadis ghairi masyhur.
Hadis masyhur menurut bahasa ialah al-antisyar wa al-dhuyu ialah sesuatu yang sudah populer. Menurut bahasa hadis ini ialah  hadits mutawatir yang tidak membatasi sanadnya. Hadits masyur ini ada beberapa macam menurut masyurnya; a) hadis yang mashyur di kalangan ahli hadits saja b) hadis yang masyhur di kalangan ulama dan masyarakat umum saja c) hadist yang mashyur di kalangan fuqaha saja, d) hadits yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqh, e) hadist yang masyur dikalangan ulama ahli bahasa, f) hadist yang masyhur dikalangan  ahli pendidikan dan hadist yang masyhur di kalangan masyarakat umum.[12]
 Ada ulama yang memasukkan hadis masyur, merupakan segala hadis yang populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik bersetatus dhaif maupun sahahih. Ulama Hanafiah, bahwa hadis ini menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib di amalkan akan tetapi bagi yang menolaknya tidak kafir. Contohnya “Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi” ini merupakan hadis mansyur sahih. Disamping itu terdapat hadis mansyur hasan ialah hadis mansyur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan baik mengenai sanad maupun matannya seperti “jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain) [13]
Hadis Ghair Masyhur dibagi dua yaitu pertama hadis aziz, hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad, suatu hadis dikatakan hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap tabaqat, yakni pada tabaqat pertama hingga tabaqat terakhir tetapi selagi salah satu tabaqatnya didapati dua perawi tetap dikatakan hadis aziz. Contohnya : tidak beriman seseorang dianara kamu, hingga aku lebih dicinttai daripada dirinya, orang tuanya, anaknnyadan semua manusia ( H.R. Bukhari - Muslim)[14] 
Hadits gharib menurut bahasa al-Munfarid (menyendiri) atau al-ba’da an aqaribihi (jauh dari kerabatnya) dan menurut terminologi ialah hadits yang hanya di riwayatkan oleh satu rawi atau disebabkan oleh adanya penambahan dalam matan atau sanad, hadis yang demikian disebut gharib karena keadaanya asing menurut pandangan rawi-rawi yang lain seperti orang yang jauh dari tempat tinggalnya. Hadis ini di bagi kepada dua bagian meliputi hadis gharib mutlak dan hadis gharib nisbi.
*      Hadis gharib mutlak adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi walaupun hanya satu tabaqat. Contohnya “hubungan kekerabatan dari budak adalah sama seperti hubungan kerabat nasab” tidak boleh jual atau dihibahkan. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yaitu Abdullah Bin Dinar dari Ibnu Umar dan diantara contoh hadis seperti kata Imam al- Turmudzi hadis ini gharib karena tidak kami ketahui kecuali melalui riwayat ini.[15]
*      Hadis gharib nisbi ialah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, bisa berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu. Contoh hadis gharib nisbi  berkenaan dengan kota “ kami diperintahkan oleh rasulullah agar membaca al- fayihah dan surat yang mudah dalam al- Qur’an” hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daut dengan dengan sanat Abu al- Walid al- Ayalisi, Hammam, Qaadah, Abu Nadrah, dan Said semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.[16]   

Menurut jumhur ulama baik hadits mutawatir maupun hadits ahad berfungsi sebagai ilmiah dan operasional, ilmiah disini bisa dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan tetapi ada perbedaan dalam sisi epistimologinya sebagian mengatakan ilmu yang dihasilkan melalui hadits bersifat dharury dan ada yang mengatakan bersifat nazhari.
3.      Kehujjahan
Ibnu Taymiyah berpandangan bahwa hadis mutawatir ialah hadis-hadis yang mempunyai fungsi ilmiah, ini tampak bahwa Ibnu Taymiyah melihat hadist muawatir bukan dari segi kuantitas perawinya tetapi dari kualitasnya,  jika di kaji ulang benar adanya yang diungkapkan oleh Ibnu Taymiyah yaitu berapa banyak hadis yang tidak diamalkan dan tidak menjadi syari’at.
Secara operasional fungsi hadits ahad di bagi menjadi dua kelompok  yaitu kelompok yang menolak mengamalkan hadis ahad dan kelompok yang memperbolehkan untuk mengamalkannya hingga sampai mewajibkannya pengalaman hadis ahad yang sudah di golongkan pada hadis sahih dan hasan. Sebab jika sudah di tentukan kesahihannya sekalipun bersifat zhanniyat-tsubut pastilah hadits tersebut datang dari nabi Muhammad SAW. Para ulama dan imam agama mujtahidin, jika ada ulama yang tidak mengamalkan hadits ahad menurut  jumhur hanyalah karena tidak menyakini kesahihannya, buka karena menolak  hadis ahad.  [17]
Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. 
Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.[18]
Berikut ini beberapa perbedaan pendapat dalam pengalaman hadis ahat dalam pengamalan hadis ahad ulama –ulama berbeda pendapat yaitu: Abu hanafiah  memberikan syarat-syarat yaitu: a) para perawinya tidak menyalahi riwayatnya b) riwayatnya tidak mengenai hal-hal yang bersifat umum dan c) riwayatnya tidak menyalahi qiyas. Malikiah memberikan syarat bahawa hadits ahad yang diamalkan tidak bertentangan dengan tradisi ulama madinah karena amalan – amalan mereka sama dengan riwayatnya. As-Syafii’i tidak mensyaratkan ke-masyhurannya, tidak bertentangan dengan amalan ulama madinah dan juga tidak mensyaratkan agar tidak menyalahi qiiyas ia hanya memberikan kesahihan sanad hadis yang sambungan sanad karena adanya perbedaan dalam beberapa hal di atas sebagian ulama Hanafiah tidak mengkafirkan orang yang mengingkari hadis ahad akan tetapi hanya menghukumi berdosa.[19]
 Contohnya: “Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih). Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.

BAB III
HADIS DI TINJAU DARI SEGI KUALITASNYA

Hadis dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis mardud ialah hadis yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud ialah ialah hadis yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya, adapun pembagiannya dapat tergambar pada bagan di bawah ini:
        Bagan II
Hadis Ditinjau
Dari Kualitas
Maudhu
Lighayrihi
Lidzatihi
Ahad
Mutawatir
Shahih
Hasan
Dha’if
 








                                                              
A.    Hadis shahih
1.      Pengertian
Kata shahih berasal dari bahasa arab as- shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadis shahih hadis yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadis yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadis sahih adalah hadist yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[20]
2.      Kinerja
Sebuah hadits dikatakan sahih apabila memenuhi krieria yang meliputi: a) Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut hadis yang muttashil dan mausul (yang bersambung), b) Seluruh periwayat dalam sanad hadist sahih bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri, c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja di kehendaki, d) Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz, e) Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat, i’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illat. [21]
Contoh hadis shahih Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : "Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah." (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa tingkatan-tingkatan hadis yang banyak di ungkapkan oleh para ulama meliputi: hadis yang di sepakati keshahihannya oleh bukhari dan muslim yang lazim disebut dengan istilah Muttafaqun ‘alaihi.
*      Hadis yang di shahihkan oleh bukhari saja
*      Hadis yang dishahihkan oleh muslim saja
*      Hadis sahih yang diriwayattkan oleh muslim saja
*      Hadis yang diriwayatkan oleh selain bukhari dan muslim yang mengikuti syarat-syaratnya
*      Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat bukhari
*      Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat Muslim
*      Hadis –hadis yang disahihkan oleh selain keduanya seperti ibnu Khuzaima, Ibnu hibban meskipun tidak memenuhi sayarat-syarat keduanya[22]

Sumber-sumber hadis-hadis sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara lain;
*      Al- Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M)
*      Al-Jami’ as – Shahih al- Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al- Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
*      Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj al-Qusyairy an nasisabury (206-261H).
*      Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar al- huzaimah yang wafat pada 313 didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab al-Bukhari
*      Sahih ibn hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad ibn hibban wafat 354 H.[23]

Hadits sahih terbagi dua bagian, yaitu hadits sahih lidzatih dan hadits shahih li ghairh. Hadits hadzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana  dikemukakan di atas, seperti hadis yang berbunyi, (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim –muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya ; dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah). Hadis ini antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad antara lain oleh, adam Ibn Iyas, Syu’bah, Ismail Ibn Safar, Al-Sya’by, Abdullah Ibn Amir Ibn Ash. Rawi dan sanad al-Bukhari memenuhi kriteri Hadits lidzatih. [24]
Hadis sahih lighairih adalah hadis yang sahihnya lantaran di bantu oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.
3.      Kehujjahan
Ibnu Hazm al- Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib diyakini dengan demikian hadis sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah, yang perlu di fahamai bahwa martabat hadis sahih ini tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil siperawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.[25]Maka dapat di simpulkan bahwa hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadist hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
B.     Hadis hasan
1.      Pengertian
Hasan berarti yang baik, yang bagus, jadi hadis hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya hafalnya tetapi tidak rancu dan tidak bercacat.[26]hadis hasan ialah hadis yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit ttetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadis itu tidak syadzdan tidak pula terdapat ‘illat[27]
Hadits hasan juga mempunyai kriteria yaitu; a) sanadnya bersambung, b) para periwayat bersifat adil, c) diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith, dan d) sanad dan matan hadits terhindar dari kejanggalan, e) tidak ber- illat.[28]
2.      Kinerja
Pembagian hadis hasan terdiri dari hasan lidzatih dan hasan lighairih, hadis hasan lidzatih adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari hadis lain dan kalau ada hanya di sebut hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadis lidzatih, sedangkan hadis hasan lighairih adalah hadis yang pada asalnya adalah hadis dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang mengangkatnya.
Contohnya : sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadis ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang menganggapnya terpecaya hadis ini bersifat hasan lizatih dan sahih lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadis itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang pertama kali mengeluarkan hadis hasan [29]
Meskipun ada hadis dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadis dhaif bisa meningkat menjadi hadis hasan, hadis dhaif yang bisa meningkat menjadi hadis hasan adalah hadis- hadis yang tidak terlalu lemah seperti hadis maudhu, matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadis diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia bukanlah hadis hasan lighairih. [30] Sebaliknya hadis daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang juga diriwayatkan oleh  periwayat yang kualitasnya sama maka hadis itu bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadis itu berambah dhaif.
3.      Hujjah
Hadis hasan dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian hukum dan ia harus diamalkan baik hadis hasan lidzatih maupun  hasan lighairih, al- Khattabi mengungkapkan bahwa atas hadis hasanlah berkisar banyak hadis karena kebanyakan hadis tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan diamalkan oleh ulama hadis. Factur rahman mengatakan bahwa kebanyakan ahli ilmu dan fuqaha sepakan unuk menggunakan hadis sahih dan hasan untuk berhujjah bila memenuhi sifat-sifatt yang dapat di terima tetapi ia menegaskan bahwa kedua-duanya dapa di terima dengan demikian krieria bahwa harus memenuhi sifat yang dapat di terima bisa saja di hilangkan.[31]
C.    Hadis Dhaif 
1.      Pengertian
Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi hadis dhaif adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.
2.      Kinerja
Adapun ciri-ciri hadis daif ialah; a) periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta, b) banyak membuat kekeliruan, c) suka pelupa, d) suka maksiat atau fasik, e) banyak angan-angan, f) menyalahi periwayat kepercayaan g) Periwayatnya tidak di kenal, h) penganut bid’ah bidang aqidah dan i) tidak baik hafalannya. [32] Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya[33]
Contoh hadis Dhaif “bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya “ hadis ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al- Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.[34] Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan. Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits) yang membagi hadits Dlaif menjadi 42 bagian ada pula yang membaginya menjadi 129 bagian. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan :


 








Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.[35]
3.      Kehujahan
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
  1. Level Kedhaifannya Tidak Parah. Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2.      Berada di bawah Nash Lain yang Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3.      Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya. Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.[36]
D.    Hadis Maudhu
1.      Pengertian
Menurut etimologi kata maudhu dari kata diletakakan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat- buat, sedangkan menurut terminologi hadis maudhu ialah sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada- ada dan bohong dari apa yang di katakan beliau atau idak dilakukan dan atau tidak di setujui.[37]Menurut Jalaluddin Suyuthi bahwa hadis maudhu adalah hadis yang di buat-buat oleh para pendusta dan menyandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. di katakan juga dengan hadist palsu, para pemalsu hadits membuat suatu matan dengan kemauannya sendiri dengan rangkain muatiara yang indah kalimat yang lengkap dan pribahasa yang padat penuh arti, kemudian disusun dengan rangkaian sanad yang seolah mutasil sampai kepada nabi Muhammad SAW.
2.      Kinerja
Hadis ini hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar untuk mengetahui hadis maudhu , ada beberapa macam hadis maudhu yaitu: Seseorang mengatakan dengan sesuatu yang sebenarnya keluar dari dirinya sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkan kepada Rasulullah SAW, seseorang mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi Muhammad SAW. juga seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadis dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan nabi seperti Habib bin Musa al- Zahid dalam hadisnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam hari wajahnya indah berseri di siang hari.[38]
Hadis ini dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat ketika muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum Syiah merka banyak mengarang hadis untuk keperluannya sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan hadis pada berbagai masa orang –orang suka menurutkan hawanafsu terus menerus untuk berbohong [39], Hammad bin Zaid hadis telah memalsukan tak kurang dari 14. 000 hadis palsu dan telah beredar dan Abdul Karim bin Abi al-Auja elah memalsukan 4000 hadis mengatakan  adapun yang melatar belakangi munculnya hadis palsu ini adalah :
·           Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik,
·           Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu  al- Aziz bin Haris al- hanbali
·           Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud.
·           Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah
·           Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat  dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka.
·           Untuk mencari rezeki dengan membuat hadis –hadis maudhu  seperti yang dilakukan oleh ppencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini 
Hadis maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan atau matannya, jika dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi; a) susunan lafalnya kacau, b) maknanya rusak, c) bertentangan dengan nas al- Qur’an yang tidak dapat dilakukan penakwilan, d) bertentangan dengan hadis mutawatir, e) bertentangan dengan aqidah umum baik dengan al- qur’an amupun sunnah.[40] f) pengakuan pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.[41] 



BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa









DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008
http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-3-hadits-ahad.html
http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
http://www.asiautama.com/hadits/UlumulHadits.pdf
http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/jenis-%E2%80%93-jenis-hadis/
M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadist, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2008
Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009




[1] Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006, hal 89
[2] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumuml Hadist, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010 hal. 228
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2008  hal. 97
[4] Ibid .,  hal. 97
[5] Ibid..,  hal. 100
[6]Ibid..,  hal. 102
[7] Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009, hal.144

[8] http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/jenis-%E2%80%93-jenis-hadis/
[9] Munzier Suparta, Ilmu.., hal. 106
[10] Ibid..,  hal. 107
[11] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumuml .., hal. 229
[12] Ibid hal. 230
[13] Munzier Suparta, Ilmu.., hal. 112
[14] Ibid.., hal. 117
[15] Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu ..,hal 80
[16]Munzier Suparta, Ilmu.., hal. 121
[17]  M. Alfatih Suryadilaga, Ulumuml .., hal. 234
[18] http://aadesanjaya.blogspot.com/2010/10/hadits-ahad.html
[19] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis.., hal. 236
[20] Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-.., hal.141
[21] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis.., hal. 246
[22] Munzier Suparta, Ilmu.., hal. 140
[23] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis.., hal. 249
[24] Ibid..,  hal. 250
[25] Munzier Suparta, Ilmu.., hal. 136
[26] Subhi As- Shalihin, Membahas .., hal. 151
[27] Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu ..,hal
[28] Munzier Suparta, Ilmu.., hal. 145
[29] Subhi As- Shalihin, Membahas ..,, hal. 154
[30] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis.., hal. 264
[31] Ibid.., hal. 265
[32] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis.., hal. 276
[33] http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-3-hadits-ahad.html
[34]Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu ..,hal 64
[35] http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
[36] http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
[37] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008, hal 199
[38] Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu.., 2006, hal 142
[39] Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu.., hal. 248
[40] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis.., hal. 280
[41] Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu.., hal. 244